Minggu, 22 Juni 2014

Muzara’ah dan Musaqah


BAB I
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah swt yang telah membimbing manusia dengan dengan petunjuk- petunjuknya sebagaimana yang terkandung dalam al- Quran dan sunnah, menunjuki manusia kejalan yang lurus dan kejalan yang diridoi-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan nabi Muhammad saw, para sahabat, keluarga dan para pengikutnya sampai hari kiamat.
Muzara’ah dan Musaqah adalah suatu kerja sama atas tanah pertanian. Yaitu kerja sama  yang sangat besar manfa’atnya   dalam kegitan  tolong menolong di antara manusia.
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian muzara’ah dan musaqah, dasar hukum, syarat, rukun serta pelaksanaannya. Mudah –mudahan makalah  ini dapat menambah pengetahuan kita tentang masalah Muzara’ah dan musaqah.













BAB II
Pembahasan
Muzara’ah dan Musaqah
A . Pengertian, dasar hukum, syarat serta hukum  Muzara’ah dan Musaqah
1.      Pengertian muzara’ah dan Musaqah
a.      Muzara’ah
Kata “Muzara’ah”, secara etimologi adalah bentuk mashdar dari asal kata, “az- zar’u” yang artinya adalah, al- inbat ( menanam, menumbuhkan ). Sedangkan menurut terminologi syara’ adalah, sebuah akad pengolahan dan penanaman (lahan) dengan upah sebagian dari hasilnya.
Ulama malikiyyah mendepenisikannya dengan, persekutuan atau perjoinan (kerjasama) dalam mengolah dan menanami lahan.
Ulama hambaliah mendefenisikannya seperti berikut, penyerahan suatu lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah dan menanaminya, sedangkan hasil tanamannya dibagi di antara mereka berdua (pemilik lahan dan pengolah).
Al- muzara’ah juga  dengan al- Mukhaabarah (dari asal kata, “al-khabaar) dan  al- muhaaqalah. Sedangkan orang Irak menyebutnya al- qaraah.
Sementara itu, Syafi’iyyah menjelaskan pengertian al- Mukhaabarah seperti berikut, mengerjakan suatu lahan dengan upah sebagian dari hasilnya, sementara benihnya dari pihak pekerja. Sedangkan al- Muzara’ah sama dengan al- Mukhaabarah,  hanya saja benihnya dari pemilik lahan.
Kesimpulannya adalah, bahwa al- Muzara’ah adalah akad pemanfa’atan dan penggarapan lahan pertanian antar pemilik lahan dengan pihak penggarap, sedangkan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan prosentase bagian sesuai yang mereka berdua sepakati.[1]
b.      Musaqah
Secara bahasa, musaqah adalah bentuk masdar al- mufaa’alah dari asal kata “as-saqyu.” Ulama Madinah menyebutnya dengan nama al- muamalah, bentuk mashdar al- mufaa’alah dari asal kata “al-‘amal.” Namun nama musaqah lebih diutamakan untuk digunakan, karena unsur yang dominan di dalam akad musaqah adalah as-saqyu (penyiraman, pengairan).
Sedangkan secara syara’, musaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemasrahan pepohonan kepada seseorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi di antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohonan yang didapatkan. Atau dengan kata lain, memasrahkan pohon kepada seseorang untuk ia rawat dengan upah sebagian tertentu dari buah yang dihasilkan.
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, musaqah adalah mempekerjakan seseorang untuk menyirami dan merawat pohon kurma atau pohon anggur saja dengan kesepakatan bahwa hasil buahnya untuk mereka berdua.
2.      Dasar hukum Muzara’ah dan Musaqah
a.      Muzara’ah
Imam abu Hanifah dan Zufar tidak memperbolehkan Muzara’ah. Mereka berdua mengatakan bahwa akad Muzara’ah adalah faasidah (rusak, tidak sah). Dengan kata lain, akad Muzara’ah dengan upah sepertiga atau seperempat dari hasil tanam- tanamannya adalah batal dan tidak sah menurut pendapat mereka berdua.
Begitu juga, imam Asy- Syafi’i tidak memperbolehkan Muzara’ah. Menurut ulama Syafi’yyah, yang boleh hanyalah Muzara’ah yang statusnya mengikuti akad Musaaqah (penyiraman dan perawatan pohon) karena dibutuhkan.[2] Sedangkan Mukhabarah (Muzara’ah  yang benihnya dari pihak pekerja) menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya tidak boleh meskipun statusnya mengikuti akad Muzaqaah, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyari’atannya.
Sementara itu, kedua rekan Abu Hanifah (Muhammad dan Abu Yusuf), Imam Malik, Imam Ahmad, dan Daud Azh-Zhahiri dan ini merupakan pendapat jumhur fuqaha bahwa Muzara’ah adalah boleh. Hal ini berdasarkan, . mengolah dan mengerjakan lahan Khaibar dengan upah dengan separuhdari hasil pohon kurma atau dari hasil panen pertaniannya. Juga karena itu adalah sebuah bentuk akad kerja sama (join) antara harta dan pekerjaan, maka oleh menutupi celah- celah kebutuhan, sebab terkadang ada orang memiliki lahan, namun tidak memiliki keahlian dan pengalaman di dunia pertanian, sedangkan dipihak lain, ada orang yang tidak memiliki lahan, namun memiliki  keahlian dan pengalaman di dunia pertanian. Sehingga jika kedua orang tersebut bekerja sama, maka hal itu bisa memberikan dan menciptakan banyak kebaikan dan keuntungan. Dan fatwa dalam masalah ini menurut ulama Hanafiyyah adalah memakai pendapat kedua rekan Imam Abu Hanifah ini. Karena akat seperti itu memang di butuhkan. Ini adalah pendapat yang raajih.
b.      Musaqah
Musaqah menurut ulama Hanafiyah adalah sama seperti muzara’ah baik dari segi hukumnya, perbedaan pendapat yang ada didalamnya dan syarat- syarat yang memungkinkan didalamnya. Oleh karena itu musaqah menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar adalah tidak boleh. Akad musaqah dengan upah sebagian dari buah yang dihasilkan adalah batal dan tidak sah menurut mereka berdua. Karena itu berarti menyewa atau mempekerjakan dengan upah sebagian dari buah yang dihasilkan, dan itu adalah dilarang. Rasulullah saw. bersabda,” barang siapa memiliki suatu lahan, maka hendaklah ia menanaminya janganlah ia menyewakannya atau mengupah seseorang untuk menanaminya dengan biaya sewa atau dengan upah sepertiga atau seperempat (dari hasilnya) atau dengan biaya sewa atau upah dalam bentuk makanan yang disebutkan.
Sementara itu, dua rekan Imam Abu Hanifah(Muhammad dan Abu Yusuf) serta jumhur ulama (termasuk diantaranya adalah Imam Malik   , Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), berpendapat bahwa Musaqah hukumnya boleh dengan sejumlah syarat. Pendapat dilandaskan pada hadits yang menceritakan tentang praktek Rasulullah saw. yang memasrahkan tanah khaibar kepada para penduduknya untuk digarap dengan upah sebagian dari hasil tanah khaibar tersebut. Diriwayatkan  dari Abdullah Ibnu Umar r.a. “Bahwasanya Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk khaibar untuk mengolah dan menggarap tanah khaibar dengan upah sebagian dari hasilnya berupa hasil buah kurma atau hasil ladang pertanian yang mereka garap dan kelola tersebut.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al- Jama’ah (al- Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad). Juga kerena alasan akad musaqah adalah akad yang sangat dibutuhkan. Sebab, pemilik kebun terkadang tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengelola dan merawatnya, atau mungkin tidak punya wakyu untuk itu, sementara  di sisi lain ada orang yang  memiliki kemampuan dan keahlian merawat dan mengelola kebun serta memiliki waktu untuk itu, namun ia tidak memiliki lahan perkebunan, sehingga pemilik lahan perkebunan membutuhkan pekerja dan pihak pekerja membutuhkan pekerjaan, sehingga terjalin  hubungan  mutual simbiosis di antara keduanya.
Fatwa dalam masalah ini di kalangan ulama Hanafiyah adalah berdasarkan pendapat Muhammad dan Abu Yusup, dengan landasan praktek yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. para istri beliau, Khulafa’urrasyidin dan penduduk madinah. Juga berdasarkan ijmak para sahabat atas pembolehan musaqah. Ibnu Juzai, salah satu ulama mazhab maliki mengatakan , musaqah adalah boleh dan statusnya adalah sebagai bentuk akad yang dikecualikan dari dua asas yang  di larang yaitu, akad Ijaarah  yang tidak jelas dan tidak pasti, serta menjual sesuatu yang belum tercipta.[3]
3.      Syarat-syarat Muzara’ah dan Musaqah
1)      Muzara’ah
a.      Manurut Abu Yusuf dan Muhammad
Abu yusuf dan muhammad(sahabat abu hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid(orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang keluar dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercock tanam.
1.      Syarat aqid( orang yang melangsungkan akad)
a.       Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh
b.      Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama hanafiyah tidak mensyaratkannya.
2.      Syarat tanaman
Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3.      Syarat dengan garapan
a.       Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
b.      Jelas.
c.       Ada penyerahan tanah.
4.      Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
a.       Jelas ketika akad.
b.      Diharuskan atas kerjasama dua orang yang akad.
c.       Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
d.      Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad.tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mandapakan sekedar pengganti biji.
5.      Tujuan akad
Akad dalam muazara’ah harus didasarkan padatujuan syara’yaitu untuk memamfa’at kanpekrja atau memanfa’atkan tanah.
6.      Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggynakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bbermaksud menggunakan alat, ermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, muzara’ah dipandang rusak.
7.      Syarat muzara’ah
Dalam muzara’ah diharuskan menetabkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara’ah dipandang tidak sah. 
b.       Menurut Ulama Malikiayah  
a.       Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih,
b.      Hasil yang diperoleh harus disamakan anatara pemilik tanah dan penggarap,
c.       Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsyngkan akad.
c.       Menurut ulama syafi’iayah
Ulama syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua akid dalam muzara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan  myusaqah. Mereka berpendapat bahwa muzara’ah adalah pengelolaan tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.
d.      Menurut ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah sebagaimana Ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang akad. Namun demikian, mereka mensyaratkan lainnya:
a.       Benih berasal dari pemilik, tetepi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap,
b.      Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing- masing,
c.       Mengetahui dengan jelas benih.[4]
2)      Musaqah
Syarat- syarat musaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam muzara’ah. Hanya saja, pada musaqah  tidak disyaratkan untuk menjelaskan  jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan  waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam muzara’ah dan dapat diterapkan dalam musaqah adalah:
a.       Ahli dalam akad
b.      Menjelaskan bagian penggarap
c.       Membebaskan pemilik dari pohon
d.      Hasil dari pohon di bagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e.       Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.[5]
4.      Rukun muzara’ah dan Musaqah
1)      Muzara’ah
Rukun muzara’ah menurut ulama Hanafiyah adalah, ijab dan qabul. Yaitu pemilik lahan berkata kepada pihak penggarap, “aku serahkan lahan ini kepadamu sebagai muzara’ah dengan upah sekian.” Lalu pihak penggarap berkata, “aku terima,” atau “aku setuju,” atau perkataan- perkataan yang menunjukkan bahwa ia menerima dan menyetujuinya. Apabila ijab qabul ini sudah terjadi, maka mberlakulah akad Muzara’ah diantara keduanya.
Sedankan elemen akad Muzara’ah ada tiga, yaitu, pemilik lahan, pengagarap, dan yang ketiga adalah objek akad yang memiliki dua kemungkinan, yaitu kemanfaatan lahan atau pekerjaan penggarap (yang pertam berarti pihak penggarap menyewa lahan, sedangkan yang kedua berarti pihak pemilik lahan mempekerjakan atau mengupahnya untuk menggarap lahannya. Kedua hal ini dalam fiqih disebut akad ijaarah). Menurut Ulama Hanafiyah, akad Muzara’ah  pada awalnya adalah bentuk akad ijaarah, sedangkan pada akhirnya berupa syarikah (kerja sama patungan atau joinan). Apabila benihnya dari pihak penggarap, maka objek akadnya berarti kemanfaatan lahan.sedangkan jika benihnya dari pihak pemilik lahan, maka objek akadnya berarti kemanfaatan (baca: pekerjaan) sipenggarab.
Sementara itu, Ulama Hanabilah mengatakan, bahwa akad Muzara’ah dan Musaqah tidak perlu kepada qabul secara lisan, akan tetapi qabul cukup dengan sipenggarap memulai mengerjakan dan mengolah lahan atau merawat dan menyirami tanaman, sama seperti wakil.
Adapun sipat akad Muzara’ah maka menurut Ulama Hanafiyah adalah sama seperti akad- akad syarikah yang lain, yaitu statusnya adalah ghairu lazim (tidak berlaku mengikat). Sementra itu Ulama Malikiyah mengatakan bahwa akad Muzara’ah statusnya sudah menjadi lazim (berlaku mengikat) jika benih telah ditaburkan atau telah ditanam. Pendapat yang mu’tamat menurut Ulama Malikiah  adalah, bahwa bentuk- bentuk akad syarikah (kerja sama joinan), dalam harta statusnya sudah menjadi lazim (mengikat) jika telah ada ijab qabul.
Sementara itu Ulama Hanabilah mengatakan, bahwa akad Muzara’ah dan Musaqah adalah dua akad yang statusnya ghairu lazim (tidak berlaku mengikat), sehingga salah satu pihak bisa membatalkannya dan akad menjadi batal dengan meniggalkannya salah satu pihak. [6]
2)      Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun Musaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada Muzara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam muzara’ah.  Ulama Malikiyah berpendapat tidak ijab- qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafazh. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam Musaqah,  seperti dalam muzara’ah tidak memerlukan lafazh, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan Ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh  ( ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5 (lima), yaitu sebagai berikut:
1.      Dua oarang yang akad (al- aqidani)
Al- Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2.      Objek Musaqah
Objek musaqah  menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut Ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan Musaqah  atas pohon yang tidak berbuah sebab sama- sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek Musaqah  adalah tumbuh- tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain- lain, dengan dua syarat:
1)      Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan;
2)      Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa Musaqah  dimaksudkan pada pohon- pohon berbuah yang dapat di makan.
Ulama Syafi’iyah dalam madzhab baru berpendapat bahwa Musaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3.      Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4.      Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan  harus bekerja atau dikerjakan secara bersama- sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam Muzara’ah maupun Musaqakah sebab Rasulullah Saw. pun tidak memberikan batasan ketika bermu’amalah dengan orang khaibar.
5.      Shighaat
Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah(sewaan) dalam akad musaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama hanabilah memperbolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tadak disyaratkan kabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.[7]
          
B. Cara  Pelaksanaan Muzara’ah dan Musaqah
    Muzara’ah dan musaqah dilaksanakan setelah akad (ijab qabul) di antara kedua belah pihak sudah di ucapkan. Dengan adanya kesepakatan itu maka sipenggarap melaksanakannya dengan memenuhi syarat- syarat yang telah disepakati diantara kedua belah pihak. Muzara’ah dan musaqah akan berakhir apabila:  
a.    Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama di waktu akad.   
b.     Apabila salah seorang yang berakad wafat.
c.    Adanya uzur salah satu pihak. Uzur dimaksud antara lain:
1)         Pemilik tanah terbelit hutang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapatmelunasi hutang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh- tumbuhan itu telah berubah, tetapi belum layak panen, maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.
2)         Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus   melakukan suatu perjalanan di luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.[8]













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa muzara’ah adalah akad  pemanfa’atan dan penggarapan lahan pertanian antar pemilik lahan dengan pihak penggarap, sedangkan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan prosentase bagian sesuai yang mereka berdua sepakati. Sedangkan musaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemasrahan pepohonan kepada seseorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi di antara kedua belah pihak.
 1.  Rukun Muzara’ah  adalah: 
(a) pemilik tanah,
(b) petani penggarap,
(c) obyek muzara’ah, yaitu antara manfa’at tanah dengan hasil kerja petani,
(d) ijab dan qabul.
(b) Tanah yang dijadikan obyek Musaqah
(c) Jenis usaha yang akan di lakukan petani penggarap
(d) ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
(e) Shigat (ungkapan) ijwaab dan qabul
2. Rukun Musaqah menurut jumhur ulama ada 5 yaitu:
 a. Dua oarang yang akad (al- aqidani)
b. Objek Musaqah
c. Buah
d. Pekerjaan
e. Shighat

Daftar kepustakaan
Al-zuhaili, Wahbah, al- Fiqih al- Islam Wa Adillatuhu, Jilid VI, Damaskus; Darul Fikir, 2007
Harun, Nasrun, Fiqih Muamalah, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2000
Syafei, Rachmad, Fiqih Muamalah, Bandung; Pustaka Setia,2006


[1] Wahbah az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Damaskus. 2007. Jld VI. Hlm.562-563
[2] Ibid.hlm. 563                                                                                                                                                     
[3] Ibid.hlm.582-583
[4] Rachmad Syafei. Fiqih Muamalah. Bandung. 2006.Pustaka Setia Hlm.208-210
[5] Ibid. hlm. 214
[6] Wahbah Az Zuhaili. Op.cit., hlm. 565  
[7] Rachmat Syafei. Op. Cit., 214-216
[8] Nasrun Harun. Fikih Muamalah. Jakarta; gaya media pratama. 2000