Minggu, 22 Juni 2014

SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL


PENDAHULUAN
Secara global, Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, yaitu menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuannya. Disamping menjelaskan hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sarananya.
Berdasarkan kedudukannya, al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup dan sumber hukum ajaran islam, Sunnah dan al-Qur’an tidak dapat dipisahkan, karena al-Qur’an sebagai sumber petama yang memuat hukum-hukum ajaran islam yang bersifat global, yang masih perlu dijelaskan lebih lanjut dan terinci. Dan disilah Sunnah menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber hukum ajaran islam kedua setelah al-Qur’an, dan Snnah menjadi mubayyin dari isi kandungan al-Qur’an tersebut.
Dalam kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang as-Sunnah sebagai sumber dan Dalil :
1.      Pengertian Sunnah
2.      Macam-macam Sunnah dan fungsinya terhadap al-Qur’an
3.      Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber hukum













PEMBAHASAN
AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL
A.     Pengertian As-Sunnah
Secara etimologi kata “Sunnah” ( سنة ) berasal dari kata سن yang berarti cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر
 من عمل بها إلى يوم القيامة

Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.

Didalam al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman Allah dalam surat  al-‘imran (3): 137:)

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ......

 Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi.

kemudian dalam surat al-Isra’ (17): 77:

sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& šn=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß ( Ÿwur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xƒÈqøtrB  
(kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu  dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.
Adapun Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak melakukannya.
Dalam memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama fiqh terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam peninjauannya diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang berlaku terhadap satu perbuatan.[1]
Adapun Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.[2]
Jadi, dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum maupun sesudah diangkat menjadi asul”.
Dari segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan Hadits, kata “Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan “Sunnah” lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun diantara ulama sepakat mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan berlaku kepada Nabi saja. Karena Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan).

B.     Macam-Macam Sunnah

Menurut ulama ushul Sunnah ada tiga macam :
1.      Sunnah qauliyah ( السنة القولية ) yaitu ucapan Nabi muhammad SAW yang didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya: sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar dari Nabi bersabda: “Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”
Menurut lahirnya, al-Qur’an dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul dari lisan Nabi, namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah- misahkan mana yang wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan beberapa cara, antara lain:
a.       Bila yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu al-Qur’an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Bila yang muncul dari lisan Nabi itu Sunnah qauliyah tidak ada perhatian khusus yang diminta Nabi, dan Nabi melarang untuk menuliskannya karena kawatir akan bercampur dengan wahyu al-Qur’an.
b.      Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk mutawatir , baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan, sedangkan Sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c.       Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti yang sesuai dengan teks aslinya yang didengar dari Nabi. Sedangkan Sunnah sering dinukilkan secara ma’nawi.
d.      apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Qur’an mempunyai daya pesona atau mu’jizat bagi pendengarnya.
2.      Sunnah fi’liyah ( السنة الفعلية ), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapan. Misalnya sahabt berkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW melakukan shalat sunat dua raka’at setelah shalat zuhur.
Dalam Sunnah qauliyah para ulama memilah perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk;
a.       Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempat beliau separti cara makan, minum, berdiri, cara berpakain dan memelihara jenggot.
b.      Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu khusus berlaku bagi Nabi. Misalnya: wajibnya shalat dhuha, salat witir, shalat tahajud bagi Nabi, semua itu tidak wajib bagi umatnya.
c.       Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti shalat, puasa, cara nabi jual bali dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama. 
3.      Sunnah taqririyah ( السنة التقريرية ), yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang  menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya seorng sahabat memakan daging dhab didepan Nabi.
Keadaan diamnya Nabi dapat dibedakan dalam dua bentuk:
1.      Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi, sahabat terus  melakukan perbuatan tesbut tapi nabi diam saja.
2.      Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumya dan tidak diketahui pula  haramnya. Diamnya nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibadah.[3]

C.     Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah masih dalam bentuk garis besar secara amaliyah, belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Adapun fungsi utama sunnah adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Sebagaimana penjelasan Allah dalam surat ­al-nahl (16): (64):
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù 
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
            Jadi, bila al-Qur’an sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah sebagai bayani (penjalas). Dalam kedudukanya sebagai bayani maka hubungannya dengan al-Qur’an fungsi sunnah adalah;
1.      Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an, atau disebut dengan fungsi ta’kid dan taqrir. Misalnya: firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$#  
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Ayat tersebut dikuatkan oleh sabda Nabi:

بني الإسلا م على خمس شهادة أن لاإله إلا الله وآن محمدا رسول الله وإقام اللصلاة
 وإيتاء الزكاة

Islam itudidirikan dengan limaapondsi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad Adalah rasulullah,dan mendirikan shalat menunaikan zakat.

2.      Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, dalam hal:
a.       Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
Contoh dalam menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an, misalnya kata “shalat” yang masih samar atau ijmal artinya, karena bisa saja kata “shalat” itu secara umum berarti do’a sebagaimana yang biasa difahami. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Setelah itu Nabi bersabda;
صلوا كما رايتموني اصلي 

Salatlah kamu seagai mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R. al-bukhori dan muslim.

b.      Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an  disebutkan secaragaris besar
Contoh Sunnah yang merinci ayat-ayat al-Qur’an yang masih secara garis besar dan umum, misalnya tentang masalah waktu shalat. Firman allah dalam surat al-nisa’ (4): 103:
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B 
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Ayat tersebut dirinci oleh hadits Nabi dari ‘Abdullah ibnu ‘Amru menurut riwayat muslim:
وقت الظهر إذا زالت الشممس وكان ظل الرجل كطوله ولم يحضرالعصرووقت العصر
مالم تصفرالشمس ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجرمالم تطلع الشمس

Waktu zduhur adalah apabila matahari telah condong dan bangying-bayang orang  yang  sama dengan panjangnya, sementara waktu asar  belum tiba, waktu asar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam , dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit.

c.       Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
Contoh Sunnah yang membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4): 11:

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat tersebut menjelaskan tentang hak waris anak laki-laki dan anak perempuan, ayat tersebut dibatasi atau dikhususkan terhadap anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya, sebagaimana hadits dari Amru ibn Syu’eb menurut riwayat al-Nasai’ dan al-daruqutni:
ليس للقاتل من الميراث شئ
Tiada harta warisan untuk si pembunuh

d.      Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
Contoh Sunnah memperluas apa yang dimaksud oleh al-Qur’an, firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, dalam surat al-Nisa’ (4): 23:
br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$#   
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Ayat tersebut diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah, riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:

لايجمع بين المرأة وععمتها ولابين المرأة وخالتها
Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan saudara ibunya.

3.      Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tiak terdapat pada al_Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya’. Misalnya: Allah SWT telah mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5): 3:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# ….
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.
Kemudian Nabi menjelaskan haramnya binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu Hurairah menurut riwayat Muslim.

كل ذي ناب من السباع فأكله حرام
Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan.[4]

D.    Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber Hukum
            Kedudukan Sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-Qur’an dan sudah tidak dapat diragukan lagi. Namun dalam kedudukan Sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat islam. Dan jumhur ulama mengemukakan alasanya dengan beberapa dalil, diantaranya:
1.      Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh umat islam untuk mentaati Rasul. Firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4): 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$#  
      Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
2.      Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam surat al-A’raf  (7): 158:
(#qãYÏB$t«sù «!$$Î/ Ï&Î!qßuur ÄcÓÉ<¨Y9$# ÇcÍhGW{$# Ï%©!$# ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ Ï.mÏG»yJÎ=Ÿ2ur
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….
3.      Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53): 3-4:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$#  ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4Óyrqãƒ
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang diwahyukan. Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun juga mempuyai kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1.      Dari segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, ahad.
2.      Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
1.      Penunjukan yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami dengan maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya penjelasan Nabi tentang zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib riwayat Abu Daud:

إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم
Bila engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka diwajibkan zakatnya lima dirham.

2.      Penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga dapat menimbulkan beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan perbedaan pendapat. Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang bersedekah

اليد العليا خير من اليد السفلى…..
Tangan diatas (yang memberi) lebih baik dari pada tangan dibawah (yang meminta).
Hadits tersebut mengandung maksud tidak pasti. Karena menurut arti sebenarnya yaitu tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, dan dapat pula bkan arti yang sebenarnya, yaitu orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta.[5]

PENUTUP

Secara etimologi kata “Sunnah” berarti cara atau jalan yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Secara istilah para ulama memberi pengertian yang berbeda-beda, namun yang tujuannya tetap sama.
Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang tidak melakukannya.
Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.

Menurut ulama ushul Sunnah ada tiga macam :
1.      Sunnah qauliyah ( السنة القولية )
2.      Sunnah fi’liyah ( السنة الفعلية )
3.      Sunnah taqririyah ( السنة التقريرية )





    















DAFTAR KEPUSTAKAAN
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000
 Harun nasrun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 1997



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000, hal 80-82
[2] Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 1997, hal 38
[3] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,83-89
[4] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,92-96.
[5] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,103-111

1 komentar: