PENDAHULUAN
Secara global, Sunnah sejajar dengan al-Qur’an,
yaitu menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak,
mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuannya. Disamping
menjelaskan hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an
yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan
dan sarananya.
Berdasarkan kedudukannya, al-Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman hidup dan sumber hukum ajaran islam, Sunnah dan al-Qur’an tidak
dapat dipisahkan, karena al-Qur’an sebagai sumber petama yang memuat
hukum-hukum ajaran islam yang bersifat global, yang masih perlu dijelaskan
lebih lanjut dan terinci. Dan disilah Sunnah menduduki dan menempati fungsinya
sebagai sumber hukum ajaran islam kedua setelah al-Qur’an, dan Snnah menjadi
mubayyin dari isi kandungan al-Qur’an tersebut.
Dalam kesempatan kali ini pemakalah akan membahas
tentang as-Sunnah sebagai sumber dan Dalil :
1. Pengertian
Sunnah
2. Macam-macam
Sunnah dan fungsinya terhadap al-Qur’an
3. Kedudukan
as-Sunnah sebagai sumber hukum
PEMBAHASAN
AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL
A. Pengertian As-Sunnah
Secara
etimologi kata “Sunnah” ( سنة ) berasal dari kata سن yang berarti cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu sesuatu
yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam arti ini terlihat dalam
sabda Nabi :
من
سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر
من عمل بها إلى يوم القيامة
Siapa
yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan
serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Didalam
al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa surat
dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman
Allah dalam surat al-‘imran (3):
137:)
قَدْ خَلَتْ مِنْ
قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ......
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi.
kemudian
dalam surat al-Isra’ (17): 77:
sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& n=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß (
wur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xÈqøtrB
(kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami
yang Kami utus sebelum kamu dan tidak
akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.
Adapun
Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat
Nabi”.
Sedangkan
Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang
dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan
perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi
orang yang tidak melakukannya.
Dalam
memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama fiqh
terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam
peninjauannya diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan
Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan
Sunnah sebagai salah satu dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang
berlaku terhadap satu perbuatan.[1]
Adapun
Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan
akhlaqnya baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.[2]
Jadi,
dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan,
ketetapan atau sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum
maupun sesudah diangkat menjadi asul”.
Dari
segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan Hadits,
kata “Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan
“Sunnah” lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun
diantara ulama sepakat mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan
berlaku kepada Nabi saja. Karena Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai
manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan).
B. Macam-Macam
Sunnah
Menurut
ulama ushul Sunnah ada tiga macam :
1. Sunnah
qauliyah ( السنة
القولية ) yaitu ucapan Nabi muhammad SAW yang
didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya: sahabat
menyampaikan bahwa ia mendengar dari Nabi bersabda: “Siapa yang tidak shalat
karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika
ia telah ingat.”
Menurut
lahirnya, al-Qur’an dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul dari lisan
Nabi, namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah- misahkan
mana yang wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dengan beberapa cara, antara lain:
a. Bila
yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu al-Qur’an selalu mendapat perhatian
khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya
serta mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Bila yang muncul dari lisan Nabi
itu Sunnah qauliyah tidak ada perhatian khusus yang diminta Nabi, dan
Nabi melarang untuk menuliskannya karena kawatir akan bercampur dengan wahyu
al-Qur’an.
b. Penukilan
al-Qur’an selalu dalam bentuk mutawatir , baik dalam bentuk hafalan
maupun tulisan, sedangkan Sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c. Penukilan
al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti yang sesuai dengan
teks aslinya yang didengar dari Nabi. Sedangkan Sunnah sering dinukilkan secara
ma’nawi.
d. apa
yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Qur’an mempunyai daya pesona atau
mu’jizat bagi pendengarnya.
2. Sunnah
fi’liyah ( السنة
الفعلية ), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian
disampaikan kepada orang lain dengan ucapan. Misalnya sahabt berkata, “Saya
melihat Nabi Muhammad SAW melakukan shalat sunat dua raka’at setelah shalat
zuhur.
Dalam Sunnah qauliyah para
ulama memilah perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk;
a. Perbuatan
dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau
berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempat beliau separti cara makan, minum,
berdiri, cara berpakain dan memelihara jenggot.
b. Perbuatan
Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu khusus berlaku
bagi Nabi. Misalnya: wajibnya shalat dhuha, salat witir, shalat tahajud bagi
Nabi, semua itu tidak wajib bagi umatnya.
c. Perbuatan
dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti shalat,
puasa, cara nabi jual bali dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
agama.
3. Sunnah
taqririyah ( السنة
التقريرية ), yaitu perbuatan seorang sahabat atau
ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak
ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat
yang menyaksikan kepada orang lain
dengan ucapannya. Misalnya seorng sahabat memakan daging dhab didepan
Nabi.
Keadaan diamnya Nabi dapat
dibedakan dalam dua bentuk:
1. Nabi
mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi, sahabat
terus melakukan perbuatan tesbut tapi
nabi diam saja.
2. Nabi
belum pernah melarang perbuatan itu sebelumya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya nabi dalam hal ini
menunjukkan hukumnya adalah ibadah.[3]
C. Fungsi
Sunnah terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an
adalah masih dalam bentuk garis besar secara amaliyah, belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari Sunnah. Adapun fungsi utama sunnah adalah untuk
menjelaskan al-Qur’an. Sebagaimana penjelasan Allah dalam surat al-nahl
(16): (64):
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù
Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Jadi, bila al-Qur’an sebagai sumber
asli bagi hukum fiqh, maka sunnah sebagai bayani (penjalas). Dalam
kedudukanya sebagai bayani maka hubungannya dengan al-Qur’an fungsi
sunnah adalah;
1. Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an, atau disebut dengan
fungsi ta’kid dan taqrir. Misalnya: firman Allah dalam surat al-baqarah
(2): 110:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$#
Dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat.
Ayat tersebut dikuatkan oleh sabda
Nabi:
بني الإسلا م على خمس
شهادة أن لاإله إلا الله وآن محمدا رسول الله وإقام اللصلاة
وإيتاء الزكاة
Islam itudidirikan
dengan limaapondsi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad
Adalah rasulullah,dan mendirikan shalat menunaikan zakat.
2. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, dalam hal:
a. Menjelaskan
arti yang masih samar dalam al-Qur’an
Contoh dalam menjelaskan arti kata
dalam al-Qur’an, misalnya kata “shalat” yang masih samar atau ijmal
artinya, karena bisa saja kata “shalat” itu secara umum berarti do’a
sebagaimana yang biasa difahami. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan
yang terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dengan takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam. Setelah itu Nabi bersabda;
صلوا كما رايتموني اصلي
Salatlah kamu seagai
mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R.
al-bukhori dan muslim.
b. Merinci
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan
secaragaris besar
Contoh Sunnah yang merinci
ayat-ayat al-Qur’an yang masih secara garis besar dan umum, misalnya tentang
masalah waktu shalat. Firman allah dalam surat al-nisa’ (4): 103:
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B
Sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Ayat
tersebut dirinci oleh hadits Nabi dari ‘Abdullah ibnu ‘Amru menurut riwayat
muslim:
وقت
الظهر إذا زالت الشممس وكان ظل الرجل كطوله ولم يحضرالعصرووقت العصر
مالم تصفرالشمس
ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط ووقت صلاة
الصبح من طلوع الفجرمالم تطلع الشمس
Waktu zduhur adalah
apabila matahari telah condong dan bangying-bayang orang yang
sama dengan panjangnya, sementara waktu asar belum tiba, waktu asar adalah selama matahari
belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat
isya’ adalah sampai pertengahan malam , dan waktu shalat subuh adalah sejak
terbitnya fajar selama matahari belum terbit.
c. Membatasi
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
Contoh Sunnah yang membatasi maksud
ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, firman Allah dalam surat al-Nisa’
(4): 11:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat
tersebut menjelaskan tentang hak waris anak laki-laki dan anak perempuan, ayat
tersebut dibatasi atau dikhususkan terhadap anak yang ia bukan penyebab
kematian ayahnya, sebagaimana hadits dari Amru ibn Syu’eb menurut riwayat
al-Nasai’ dan al-daruqutni:
ليس للقاتل من الميراث
شئ
Tiada harta warisan
untuk si pembunuh
d. Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
Contoh Sunnah memperluas apa yang
dimaksud oleh al-Qur’an, firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu
dua orang wanita yang bersaudara, dalam surat al-Nisa’ (4): 23:
br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$#
dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau.
Ayat tersebut diperluas oleh Nabi
maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah, riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:
لايجمع بين المرأة
وععمتها ولابين المرأة وخالتها
Tidak boleh memadu
perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan
saudara ibunya.
3. Menetapkan
sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tiak terdapat pada al_Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya’.
Misalnya: Allah SWT telah mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi
dalam surat al-Maidah (5): 3:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# ….
Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi.
Kemudian Nabi menjelaskan haramnya
binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu Hurairah menurut riwayat Muslim.
كل ذي ناب من السباع
فأكله حرام
Setiap
binatang buas yang bertaring, haram dimakan.[4]
D. Kedudukan
as-Sunnah sebagai sumber Hukum
Kedudukan Sunnah sebagai bayani
atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-Qur’an dan sudah tidak dapat
diragukan lagi. Namun dalam kedudukan Sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri
dan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat islam. Dan jumhur ulama mengemukakan alasanya dengan beberapa dalil,
diantaranya:
1.
Banyak ayat al-Qur’an
yang menyuruh umat islam untuk mentaati Rasul. Firman Allah dalam surat al-Nisa’
(4): 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$#
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya)
2.
Ayat al-Qur’an yang
menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam surat al-A’raf (7): 158:
(#qãYÏB$t«sù «!$$Î/ Ï&Î!qßuur ÄcÓÉ<¨Y9$# ÇcÍhGW{$# Ï%©!$# ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ Ï.mÏG»yJÎ=2ur
Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….
3.
Ayat-ayat al-Qur’an
yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya berdasarkan wahyu yang
diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53): 3-4:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã
Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dari
penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang
diwahyukan. Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun
juga mempuyai kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1. Dari
segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan
Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
mutawatir, masyhur, ahad.
2. Dari
segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari
segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
1. Penunjukan
yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap hukum
dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami
dengan maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya
penjelasan Nabi tentang zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib
riwayat Abu Daud:
إذا كانت لك مائتا درهم
وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم
Bila
engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka diwajibkan
zakatnya lima dirham.
2. Penunjukan
yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan penjelasan
terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga dapat
menimbulkan beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan
perbedaan pendapat. Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang
bersedekah
اليد العليا خير من اليد
السفلى…..
Tangan
diatas (yang memberi) lebih baik dari pada tangan dibawah (yang meminta).
Hadits
tersebut mengandung maksud tidak pasti. Karena menurut arti sebenarnya yaitu
tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, dan dapat pula bkan arti
yang sebenarnya, yaitu orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang
meminta.[5]
PENUTUP
Secara
etimologi kata “Sunnah” berarti cara atau jalan yang biasa dilakukan, apakah
cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
Secara
istilah para ulama memberi pengertian yang berbeda-beda, namun yang tujuannya
tetap sama.
Sunnah
menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat
Nabi”.
Sedangkan
Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang
dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan
perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi
orang yang tidak melakukannya.
Sunnah
menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,
baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya baik
itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.
Menurut
ulama ushul Sunnah ada tiga macam :
1. Sunnah
qauliyah ( السنة
القولية )
2. Sunnah
fi’liyah ( السنة
الفعلية )
3. Sunnah
taqririyah ( السنة
التقريرية )
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Syarifuddin
Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2000
Harun nasrun, Ushul Fiqh I, Logos
Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 1997
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu dan
Pemikiran, Jakarta, 2000, hal 80-82
[2] Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
Jakarta, 1997, hal 38
[3] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,83-89
[4] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,92-96.
[5] Opcit, Amir Syarufuddin, hal,103-111
tanks ya.. ini sangat membantu saya.. semoga ilmunya berkah
BalasHapus