PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah merupakan sumber hukum islam kedua
setelah Al-Qur’an, dan sunnah juga mempunyai fungsi yang sangat penting
terhadap Al-Qur’an. Para ulama’ muhadditsin membagi hadits menjadi banyak
bagian dengan istilah yang berbeda-beda. Namun, dari banyaknya pembagian hadits
itu, pada pokok utama kembali kepada tiga objek pembahasan, yaitu dari segi
matan, sanad, serta matan dan sanad-sanad secara bersama-sama. Dan kebanyakan
mereka mengklasifikasikan hadits secara keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu
shahih, hasan, dan dhaif.
Namun yang terfokus pada pembahasan ini adalah
tentang hadits dha’if yang disebabkan cacat selain keterputusan sanad, cacat
hadits dhaif terkait pada dua hal yakni sanad dan matan. Cacat
yang terkait dengan sanad bisa jadi karena tidak bersambung sanad-nya
atau seorang perawi tidak bertemu langsung dengan seorang guru sebagai pembawa
berita, ketidak adilan dan tidak dhabith terjadi adanya syadz dan cacat
(‘illat). Sedang cacat yang terkait dengan matan adalah karena syadz
dan cacat (‘illat) tersebut.
Jadi untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, pemakalah
akan membahas tentang hadits dhaif yang disebabkan cacat selain keterputusan
sanad, yaitu :
a. Hadits
al-Mudha’af
b. hadits
al-Muththarib
c. hadits
al-Maqlub
d. hadits
Syadz dan hadits munkar
e. hadits
mathruk dan hadits mathruh
PEMBAHASAN
DHA’IF
DISEBABKAN CACAT SELAIN KETERPUTUSAN SANAD
A. Hadits
al-Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang tidak
disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya hadits mudha’af
mengandung kedha’ifan, baik dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian lain
menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih
lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian
kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian
kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadits mudha’af dianggap sebagai hadits
dha’if yang paling tinggi tingkatannya.[1]
B. Hadits
al-Mudththarib
Kata al-mudththarib barasal dari kata اِ
ضْطَرَبَ يَضْطَرِبُ اِضْطِرَابًا فَهُوَ مُضْطَرِبٌ
yang
artinya goncang dan bergetar. Sedangkan menurut istilah, hadits muththarib adalah:
مَا
رُوِيَ عَلَى أَوْجُهٍ مُخْتَلِفَةٍ مُتَسَاوِيَةٍ فِي القُوَّةِ
Hadits yang diriwayatkan pada beberapa segi yang
berbeda, tetapi sama kualitasnya.[2]
Hadits mudththarib adalah hadits yang yang
diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang berbeda antara satu dengan yang lain
tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat mentarjihkan (tidak dapat
mencari yang lebih unggul) sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya
satu atau lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu
alasan tarjih, misalnya perawinya lebih hafidz atau lebih sering bergaul dengan
perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaian deberikan kepada yang rajih.
Kemudththariban mengakibatkan kedha’ifan suatu
hadits, karena menunjukkan ketidak dhabitan. Pada hal kedhabitan adalah syarat
keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan, yaitu bila terjadi
ikhtilaf mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau nama nisbatnya.
Dan perawi yang di ikhtilafkan itu namanya tsiqah. Sehinggan haditsnya tetap
dihukumi shahih ataupun hasan.[3]
Ke-dha’ifan hadits mudththatib terletak
pada atau disebabkan oleh perbedaan hafalan dan kekuatan ingatan di antara para
perawinya. Jika perbedaan tersebut tidak ada dan salah satu riwayat unggul
berarti haditsnya bukan mudththarib lagi.
Hadits mudhtharib kebanyakan terjadi pada sanad
dan sedikit yang terjadi pada matan.
Contoh hadits mudhthorib pada sanad, seperti
hadits Abu Bakar RA berakata : ya Rasulullah aku melihat engkau beruban.
Rasulullah menjawab:
شَيِّبَتْنِى
هُوْدً وَأَخْوَاتُهَا
Yang membuat rambutku beruban Surah Hud dan
saudara-saudaranya. (HR.At-Tirmidzi).
Ad-Daruquthni berkata: hadits ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan
diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang
menjadikannya dari musnad Abu Bakar, Musnad ‘Aisyah, Musnad Sa’ad, dan
lain-lain. Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat
di tarjih.
Contoh hadits Mudhtharib dalam matan, seperti
hadits yang dirawayatkan oleh At-Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari
Asy-Sya’bi dari Fatimah binti Qays RA. Berkata: Rasulullah SAWditanya tentang
zakat, kemudian Rasulullah menjawab:
إِنَّ
فِي المَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.
Sementara
pada riwayat Inu Majah melalui jalan Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ
فِي المَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Tidah ada hak pada harta selain zakat.
Al-Iraqi berkata: hadits di atas terjadi Idhthirab
tidak mungkin dita’wilkan. Hadits pertama menyatakan adanya hak bagi harta
selain zakat, sementara hadits yang kedua menyatakan seblaliknya. Yakni tidak
adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.[4]
C. Hadits
al-Maqlub
Kata Maqlub berasal dari kata
قَلَبَ يَقْلِبُ قَلْبًا فَهُوَ مَقْلُوْبٌ yang berarti mengubah,
mengganti, dan membalik. Sedangkan menurut istilah hadits Maqlub
adalah:
هُوَ
الحَدِيْثُ الَّذِي دَخَلَ الْقَلْبُ فِي سَنَدِهِ اَوْ مَتْنِهِ
Adalah
hadits yang tebalik (redaksinya) baik pada sanad atau pada matan.
Hadits maqlub adalah hadits yang terbalik
susunan kalimatnya yang tidak sesuai dengan susunan yang semestinya, terkadang
mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata
lain dengan tujuan tertentu. Adapun faktor penyebabnya karena kesalahan yang
tidak disengaja atau karena untuk menguji daya ingat seseorang, seperti yang
terjadi terhadap imam Al-Bukhori yang dilakukan oleh ulama’ Baghdad dengan
memutarbalikkan 100 sanad dengan matan lain atau agar lebih dicintai oleh
pendengar.
Menurut Shubhi al-Shalih, letak kedhaifan hadits
maqlub adalah pada sedikit kekuatan ingatan karena mendahulukan apa yang
semestinya diakhirkan atau mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan, serta
mengganti sesuatu dengan yang lain, serta mengganti sesuatu dengan sesuatu yang
lain.[5]
Jika pembalikan nama, kata, atau kalimat itu terjadi
karena lupa dan bukan karena disengaja, maka hadits yang bersangkutan
berkualitas dha’if. tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara sengaja,
bukan karena lupa atau salah, maka pembalikan itu merupakan salah satu bentuk
pemalsuan hadits. Sebagai gambarannya adalah jika suatu hadits terkenal
diriwayatkan oleh periwayat atau dengan sanad tertentu, kemudian ada orang yang
suka mengada-ada sengaja mengganti periwayat itu dengan periwayat lain, supaya
orang menyukai hadits tersebut, maka hadits itu dinyatakan palsu. Begitu juga
jika jika sanad (periwayat) yang satu diganti atau ditukar dengan sanad
(periwayat) yang lain.[6]
Contoh
Hadits Maqlub
Hadits maqlub
dapat terjadi pada sanad dan bisa juga pada matan. Hadits Maqlub
pada sanad yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Misalnya Murrah
bin Ka’ab diucapkan Ka’ab bin Murrah. Sedang maqlub pada matan
misalanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA berkata:
فَإِذَا
أَنَا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ جَالِسًا عَلَى مَقْعَدَتِهِ مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ مُسْتَدْبِرَ الشَّامِ
Maka ketika itu aku bersama Nabi SAW, beliau duduk
diatas bangku menghadap qiblat dan membelakangi syam.
Hadits
diatas di-maqlub-kan menjadi :
مُسْتَقْبِلَ
الشَّامِ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ
Menghadap syam dan membelakangi kiblat
Kitab-kitab
yang membicarakan Hadits maqlub:
1. Rafi’
Al-Irtiyab fi Al-Maqlub min Al-Asma’ Al-Ansb, karya
Al-Khatib.
D. Hadits
Syadz
Dari
segi bahasa syadz berasal dari kata
شَذَّ يَشُذُّ شَذًّا فَهُوَ شَاذٌّ yang berarti ganjil tidak sama
dengan yang lain. sedangkan menurut istilah hadits syadz adalah:
مَا
انْفَرَدَ بِهِ الرَّاوِى سَوَاءٌ كَانَ ثِقَةً اَوْ غَيْرَ ثِقَةٍ خَالَفَ غَيْرَهُ
اَمْ لَمْ يُخَالِفْ
Periwayatan
seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqah atau yidak, baik ia menyalahi
periwatan yang lain atau tidak.[8]
Yang
petama memperkenalkan hadits syadz ini adalah Imam Asy-Syafi’iy. Beliau
mengatakan bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqah
meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam bukunya,yang dimaksud hadits syadz
adalah bila di antara sekian banyak perawi tsiqah ada di antara mereka yang
menyimpang dari perawi yang lainnya. Dan generasi setelah Imam asy-Asyafi’i
(ulama’ hadits) sepakat bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
perawi maqbul dalam keadaan
menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
Oleh karena itu kriteria
hadits syadz adalah:
1. Tafarrud
( kesendirian perawinya)
2. Mukhalafah
(penyimpangan)
Seandainya
ada seorang perawi yang berkualitas tsiqah melakukan penyendirian dalam
meriwayatkan suatu hadits tanpa penyimpangan dari yang lainnya, maka haditsnya shahih,
bukan syadz. Dan seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat,
karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena
kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfud, sedang yang marjuh
disebut syadz.[9]
Contoh hadits syadz
Sebagaimana
hadits dha’if lainnya, hadits syadz juga dapat terjadi pada sanad dan
bisa terjadi pada matan.
Contoh hadits syadz pada
sanad:
Hadits yang
diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah
dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat
pada masa Rasulullah SAW dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia
merdekakan. Nabi bertanya: “Apakah ada seorang yang menjadi pewarisnya?” mereka
menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian
Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.
Hammad
bin Ziad ( seorang tsiqah, adil dan dhabith) juga meriwayatkan
hadits diatas dari Amr bin Dinar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu
Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Ziad syadzi sedangkan periwayatan
Ibnu Uyaynah mahfudz.[10]
Contoh hadits syadz pada matan:
Hadits
yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari
Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu hurairah secara marfu’ Rasulullah SAW
bersabda:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَنْ يَمِيْنِهِ
Jika salah
seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat fajar maka hendaklah
ia berbaring pada lambung kanannya.
Al-Baihaqiy
berkata mengatakan: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah syadz karena
menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkannya. Orang-orang meriwayatkan dari
segi perbutan Nabi SAW, bukan sabdanya. Abdul Wahid juga melakukan penyendirian
di antara para murid Al-A’masy mengenai redaksinya.[11]
E. Hadits
munkar
Dari
segi bahasa munkar berasal dari kata أَنْكَرَ
يُنْكِرُ إِنْكَارًا فَهُوَ مُنْكَرٌ yang berarti menolak, tidak menerima.
Lawan dari kata iqrar yang berarti mengakui dan menerima. Cacat
pada itu membuat tertolak dan diingkarinya. Sedangkan menurut istilah adalah :
الْحَدِيْثُ
الَّذِي فِي إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَحُشَ غَلَطُهُ اَوْ كَثُرَتْ غَفْلَطُهُ اَوْ ظَهَرَ
فِسْقُهُ
Hadits yang sanadnya
ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak
kefasikannya.
مَا
رَوَاهُ الضَّعِيْفُ مُخَالِفًا ِلثِّقَاتِ
Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi dho’if menyalahi periwayatan yang tsiqah.[12]
Dari
kedua definisi tersebut telah jelas bahwa di antara periwayat hadits munkar ada
yang sangat lemah daya ingatannya, sehingga periwayatannya menyendiri tidak
sama dengan periwayatan perawi tsiqah. Oleh karena itu kriteria hadits munkar
adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
Seandainya
ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu
hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqah, maka
haditsnya tidak munkar, tetapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan
adanya hadits dari perawi tsiqah, maka yang rajih disebut marfu’,
sedang yang marjuh disebut munkar.
Hadits
syadz dan hadits munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah.
Bedanya hanya pada hadits syadz, yang perawinya tsiqah atau shadiq.
Sementara pada hadits munkar, perawinya dha’if.[13]
Contoh Hadits Munkar
Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu
Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari ayahnya secara marfu’:
صَا
ئِمُ رَمَضَانَ فِي السَّفْرِ كَالْمُفْطِرِ فِي اْلحضَرِ
Seorang puasa
Ramadhan dalam perjalanan seperti orang berbuka dalam tempat tinggalnya.
Hadits
tersebut munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu’
(dari Rasulullah), bertentangan dengan periwayatan Ibn Abi Dzi’bin yang tsiqah,
hadits tersebut mauquf pada abdurrahaman bin Auf.
Adapun
tingkatan kedha’ifanya sangat dha’if setelah hadits matruk, karena cacat
hadits munkar sangat parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan
dalam periwayatannya, sehingga menyalahi periwayatan para perawi tsiqah.[14]
F. Hadits
Matruk
Dari
segi bahasa matruk barasal dari kata
تَرَكَ يَتْرُكُ تَرْكًا فَهُوَ مَتْرُوْكٌ yang berarti tertinggal. Sedangkan menurut istilah
hadits matruk adalah:
الْحَدِيْثُ
الَّذِي يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمٌ بِالْكَذِبِ
Hadits yang
salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Di
antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi, ada beberapa kemungkinan,
yaitu :
1. Periwayatan
hadits yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang meriwayatkannya. Hal ini
dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya selain dia.
2. Seorang
perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadits tertentu.
3. Menyalahi
kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama, kewajiban shalat, zakat,
puasa, haji dan lain-lain.[15]
Menurut
Muhammad Ajjaj Al-Khathib dalam bukunya, hadits matruk adalah hadits
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttahan bi al-kidzbi” (yang
tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam
pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melaului perbuatan maupun
perkataannya, atau yang sering sekali salah dan lupa.[16]
Contoh Hadits Matruk
Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Daud dalam Qadha’ Al-Hawa’ij melalui
Juwaibir bin Sa’ad Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari nabi SAW,
bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِإِصْطِنَاعِ الْمَعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوْءِ وَعَلَيْكُمْ
بِصَدَقَةِ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Wajib atas kamu
berbuat yang ma’ruf, sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib
atas kamu shadaqah asamaran (sirr), sesungguhnya ia mematikan murka Allah azza wa jalla.
Pada
isnad hadits tersebut terdapat Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasa’i,
dan Ad-Daruquthni berkata, bahwa ia matruk al-hadits, menurut Ibnu Ma’in: لَيْسَ
بِشَيْئٍ = tidak ada apa-apa.
Tingkatan Hadits Matruk
Yang
jelas, hadits matruk merupakan tingkatan hadits dha’if yang terendah. Karena
cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta.[17]
G. Hadits
mathruh
Al-Hafidz
adz-Dzahabiy menjadikan hadits mathruh sebagai jenis tersendiri. Beliau
mengambil istilah dari para ulama’ “ Fulan Mathruh al-Hadits” (seorang yang
terlempar haditsnya). Beliau mengatakan: ia termasuk dalam daftar hadits-hadits
perawi dha’if yang tertinggal haditsnya.
Syeikh
Thahir al-Jaza’iriy berpendapat bahwa ia tidak lain adalah hadits matruk,
yakni yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta
dalam hadits, termasuk yang sering berbuat dusta dalam selain hadits. Beliau
mengatakan bahwa dengan demikian ia termasuk jenis yang memiliki dua nama
sekaligus. Kami sangat sependapat dengan pendapat ini, yakni antara hadits matruk
dan mathruh tidak ada perbedaan yang perlu ditonjolkan, baik secara
etimologi maupun terminologi. [18]
KESIMPULAN
Hadits-hadits dha’if yang
disebabkan cacat selain keterputusan sanad, yaitu :
1. Hadits
Mudha’af
Hadits mudha’af
adalah hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits
menilainya hadits mudha’af mengandung kedha’ifan, baik dalam sanad atau dalam
matannya, dan sebagian lain menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu
lebih kuat, bukannya lebih lemah.
2. Hadits
Muththarib
Hadits Mutharib
adalah hadits yang berbeda antara satu dengan yang lain tidak dapat
dikompromikan dan tidak dapat di-tarjih (tidak dapat dicari yang lebih
unggul) dan sama kekuatan atau kualitasnya.
3. Hadits
Maqlub
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik susunan
kalimatnya yang tidak sesuai dengan susunan yang semestinya, terkadang
mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata
lain dengan tujuan tertentu.
4. hadits
syadz adalah bila di antara sekian banyak perawi tsiqah ada di antara mereka
yang menyimpang dari perawi yang lainnya.
5. Hadits
Munkar adalah Hadits yang sanadnya ada seorang perawi yang parah
kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikannya.
6. Hadits
Mathruk adalah Hadits yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh
dusta.
DAFATAR
KEPUSTAKAAN
‘Ajjaj Al-khathib
Muhammad, ushulu al-hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Partama,
jakarta, 1998.
Khon Abdul Majid, ulumul
hadits, Amzah, Jakarta, 2009.
al-Shalih Shubhi, ulum
al-hadts wa Musthalahuhu, Dar al-‘Ilmi al-malayin, Beirut, 1988
[1]Muhammad ‘Ajjaj
Al-khathib, ushulu al-hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Partama, jakarta, 1998, hal 310.
[6] Ibid, hal 195
[7] Ibid, hal 194
[8] Ibid, hal 197
[11] Op-cit,
Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 313
[14] Op-cit, Abdul
Majid Khon, hal, 188-189
[16] Op-cit,
Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal313-314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar