Minggu, 22 Juni 2014

DHA’IF DISEBABKAN CACAT SELAIN KETERPUTUSAN SANAD


PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an, dan sunnah juga mempunyai fungsi yang sangat penting terhadap Al-Qur’an. Para ulama’ muhadditsin membagi hadits menjadi banyak bagian dengan istilah yang berbeda-beda. Namun, dari banyaknya pembagian hadits itu, pada pokok utama kembali kepada tiga objek pembahasan, yaitu dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad-sanad secara bersama-sama. Dan kebanyakan mereka mengklasifikasikan hadits secara keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu shahih, hasan, dan dhaif.
Namun yang terfokus pada pembahasan ini adalah tentang hadits dha’if yang disebabkan cacat selain keterputusan sanad, cacat hadits dhaif terkait pada dua hal yakni sanad dan matan. Cacat yang terkait dengan sanad bisa jadi karena tidak bersambung sanad-nya atau seorang perawi tidak bertemu langsung dengan seorang guru sebagai pembawa berita, ketidak adilan dan tidak dhabith terjadi adanya syadz dan cacat (‘illat). Sedang cacat yang terkait dengan matan adalah karena syadz dan cacat (‘illat) tersebut.
Jadi untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang hadits dhaif yang disebabkan cacat selain keterputusan sanad, yaitu :
a.       Hadits al-Mudha’af
b.      hadits al-Muththarib
c.       hadits al-Maqlub
d.      hadits Syadz dan hadits munkar
e.       hadits mathruk dan hadits mathruh




PEMBAHASAN
DHA’IF DISEBABKAN CACAT SELAIN KETERPUTUSAN SANAD
A.    Hadits al-Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya hadits mudha’af mengandung kedha’ifan, baik dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian lain menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian kuat. Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadits mudha’af dianggap sebagai hadits dha’if yang paling tinggi tingkatannya.[1]
B.     Hadits al-Mudththarib
Kata al-mudththarib barasal dari kata اِ ضْطَرَبَ يَضْطَرِبُ اِضْطِرَابًا فَهُوَ مُضْطَرِبٌ   yang artinya goncang dan bergetar. Sedangkan menurut istilah, hadits muththarib  adalah:
 مَا رُوِيَ عَلَى أَوْجُهٍ مُخْتَلِفَةٍ مُتَسَاوِيَةٍ فِي القُوَّةِ
Hadits yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda, tetapi sama kualitasnya.[2]
Hadits mudththarib adalah hadits yang yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang berbeda antara satu dengan yang lain tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat mentarjihkan (tidak dapat mencari yang lebih unggul) sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, misalnya perawinya lebih hafidz atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaian deberikan kepada yang rajih.
Kemudththariban mengakibatkan kedha’ifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidak dhabitan. Pada hal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan, yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau nama nisbatnya. Dan perawi yang di ikhtilafkan itu namanya tsiqah. Sehinggan haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan.[3]
Ke-dha’ifan hadits mudththatib terletak pada atau disebabkan oleh perbedaan hafalan dan kekuatan ingatan di antara para perawinya. Jika perbedaan tersebut tidak ada dan salah satu riwayat unggul berarti haditsnya bukan mudththarib lagi.
Hadits mudhtharib kebanyakan terjadi pada sanad dan sedikit yang terjadi pada matan.
Contoh hadits mudhthorib pada sanad, seperti hadits Abu Bakar RA berakata : ya Rasulullah aku melihat engkau beruban. Rasulullah menjawab:
شَيِّبَتْنِى هُوْدً وَأَخْوَاتُهَا
Yang membuat rambutku beruban Surah Hud dan saudara-saudaranya. (HR.At-Tirmidzi).
Ad-Daruquthni berkata: hadits ini mudhtharib,  karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang menjadikannya dari musnad Abu Bakar, Musnad ‘Aisyah, Musnad Sa’ad, dan lain-lain. Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di tarjih.
Contoh hadits Mudhtharib dalam matan, seperti hadits yang dirawayatkan oleh At-Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fatimah binti Qays RA. Berkata: Rasulullah SAWditanya tentang zakat, kemudian Rasulullah menjawab:
إِنَّ فِي المَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ   
Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.
Sementara pada riwayat Inu Majah melalui jalan Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ فِي المَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Tidah ada hak pada harta selain zakat.
Al-Iraqi berkata: hadits di atas terjadi Idhthirab tidak mungkin dita’wilkan. Hadits pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat, sementara hadits yang kedua menyatakan seblaliknya. Yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.[4]

C.     Hadits al-Maqlub
Kata Maqlub berasal dari kata قَلَبَ يَقْلِبُ قَلْبًا فَهُوَ مَقْلُوْبٌ  yang berarti mengubah, mengganti, dan membalik. Sedangkan menurut istilah hadits Maqlub adalah:
هُوَ الحَدِيْثُ الَّذِي دَخَلَ الْقَلْبُ فِي سَنَدِهِ اَوْ مَتْنِهِ
Adalah hadits yang tebalik (redaksinya) baik pada sanad atau pada matan.
Hadits maqlub adalah hadits yang terbalik susunan kalimatnya yang tidak sesuai dengan susunan yang semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata lain dengan tujuan tertentu. Adapun faktor penyebabnya karena kesalahan yang tidak disengaja atau karena untuk menguji daya ingat seseorang, seperti yang terjadi terhadap imam Al-Bukhori yang dilakukan oleh ulama’ Baghdad dengan memutarbalikkan 100 sanad dengan  matan lain atau agar lebih dicintai oleh pendengar.
Menurut Shubhi al-Shalih, letak kedhaifan hadits maqlub adalah pada sedikit kekuatan ingatan karena mendahulukan apa yang semestinya diakhirkan atau mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan, serta mengganti sesuatu dengan yang lain, serta mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain.[5]
Jika pembalikan nama, kata, atau kalimat itu terjadi karena lupa dan bukan karena disengaja, maka hadits yang bersangkutan berkualitas dha’if. tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara sengaja, bukan karena lupa atau salah, maka pembalikan itu merupakan salah satu bentuk pemalsuan hadits. Sebagai gambarannya adalah jika suatu hadits terkenal diriwayatkan oleh periwayat atau dengan sanad tertentu, kemudian ada orang yang suka mengada-ada sengaja mengganti periwayat itu dengan periwayat lain, supaya orang menyukai hadits tersebut, maka hadits itu dinyatakan palsu. Begitu juga jika jika sanad (periwayat) yang satu diganti atau ditukar dengan sanad (periwayat) yang lain.[6]
Contoh Hadits Maqlub
Hadits maqlub dapat terjadi pada sanad dan bisa juga pada matan. Hadits Maqlub pada sanad yaitu terbaliknya nama seorang perawi. Misalnya Murrah bin Ka’ab diucapkan Ka’ab bin Murrah. Sedang maqlub pada matan misalanya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA berkata:
فَإِذَا أَنَا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ جَالِسًا عَلَى مَقْعَدَتِهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مُسْتَدْبِرَ الشَّامِ
Maka ketika itu aku bersama Nabi SAW, beliau duduk diatas bangku menghadap qiblat dan membelakangi syam.
Hadits diatas di-maqlub-kan menjadi :
مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ
Menghadap syam dan membelakangi kiblat
Kitab-kitab yang membicarakan Hadits maqlub:
1.      Rafi’ Al-Irtiyab fi Al-Maqlub min Al-Asma’ Al-Ansb, karya Al-Khatib.
2.      Jala Al-Qulub fi Ma’rifah Al-Maqlub, karya Ibnu Hajar[7]

D.    Hadits Syadz
Dari segi bahasa syadz berasal dari kata شَذَّ يَشُذُّ شَذًّا فَهُوَ شَاذٌّ yang berarti ganjil tidak sama dengan yang lain. sedangkan menurut istilah hadits syadz adalah:
مَا انْفَرَدَ بِهِ الرَّاوِى سَوَاءٌ كَانَ ثِقَةً اَوْ غَيْرَ ثِقَةٍ خَالَفَ غَيْرَهُ اَمْ لَمْ يُخَالِفْ
Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqah atau yidak, baik ia menyalahi periwatan yang lain atau tidak.[8]
Yang petama memperkenalkan hadits syadz ini adalah Imam Asy-Syafi’iy. Beliau mengatakan bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqah meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain. Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam bukunya,yang dimaksud hadits syadz adalah bila di antara sekian banyak perawi tsiqah ada di antara mereka yang menyimpang dari perawi yang lainnya. Dan generasi setelah Imam asy-Asyafi’i (ulama’ hadits) sepakat bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul  dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

Oleh karena itu kriteria hadits syadz adalah:
1.      Tafarrud ( kesendirian perawinya)
2.      Mukhalafah (penyimpangan)
Seandainya ada seorang perawi yang berkualitas tsiqah melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa penyimpangan dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syadz. Dan seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat, karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfud, sedang yang marjuh disebut syadz.[9]
Contoh hadits syadz
Sebagaimana hadits dha’if lainnya, hadits syadz juga dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan.
Contoh hadits syadz pada sanad:
Hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah SAW dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakan. Nabi bertanya: “Apakah ada seorang yang menjadi pewarisnya?” mereka menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.
Hammad bin Ziad ( seorang tsiqah, adil dan dhabith) juga meriwayatkan hadits diatas dari Amr bin Dinar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Ziad syadzi sedangkan periwayatan Ibnu Uyaynah mahfudz.[10]
Contoh hadits syadz  pada matan:
Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu hurairah secara marfu’ Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَنْ يَمِيْنِهِ
Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.
Al-Baihaqiy berkata mengatakan: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkannya. Orang-orang meriwayatkan dari segi perbutan Nabi SAW, bukan sabdanya. Abdul Wahid juga melakukan penyendirian di antara para murid Al-A’masy mengenai redaksinya.[11]

E.     Hadits munkar
Dari segi bahasa munkar berasal dari kata أَنْكَرَ يُنْكِرُ إِنْكَارًا فَهُوَ مُنْكَرٌ yang berarti menolak, tidak menerima. Lawan dari kata iqrar yang berarti mengakui dan menerima. Cacat pada itu membuat tertolak dan diingkarinya. Sedangkan menurut istilah adalah :

الْحَدِيْثُ الَّذِي فِي إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَحُشَ غَلَطُهُ اَوْ كَثُرَتْ غَفْلَطُهُ اَوْ ظَهَرَ فِسْقُهُ
Hadits yang sanadnya ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikannya.
مَا رَوَاهُ الضَّعِيْفُ مُخَالِفًا ِلثِّقَاتِ
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi dho’if menyalahi periwayatan yang tsiqah.[12]
Dari kedua definisi tersebut telah jelas bahwa di antara periwayat hadits munkar ada yang sangat lemah daya ingatannya, sehingga periwayatannya menyendiri tidak sama dengan periwayatan perawi tsiqah. Oleh karena itu kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
Seandainya ada seorang perawi dha’if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqah, maka haditsnya tidak munkar, tetapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqah, maka yang rajih disebut marfu’, sedang yang marjuh disebut munkar.
Hadits syadz dan hadits munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah. Bedanya hanya pada hadits syadz, yang perawinya tsiqah atau shadiq. Sementara pada hadits munkar, perawinya dha’if.[13]
Contoh Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari ayahnya secara marfu’:
صَا ئِمُ رَمَضَانَ فِي السَّفْرِ كَالْمُفْطِرِ فِي اْلحضَرِ
Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti orang berbuka dalam tempat tinggalnya.
Hadits tersebut munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu’ (dari Rasulullah), bertentangan dengan periwayatan Ibn Abi Dzi’bin yang tsiqah, hadits tersebut mauquf pada abdurrahaman bin Auf.
Adapun tingkatan kedha’ifanya sangat dha’if setelah hadits matruk, karena cacat hadits munkar sangat parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam periwayatannya, sehingga menyalahi periwayatan para perawi tsiqah.[14]

F.     Hadits Matruk
Dari segi bahasa matruk barasal dari kata تَرَكَ يَتْرُكُ تَرْكًا فَهُوَ مَتْرُوْكٌ yang berarti tertinggal. Sedangkan menurut istilah hadits matruk adalah:

الْحَدِيْثُ الَّذِي يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمٌ بِالْكَذِبِ
Hadits yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Di antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi, ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1.      Periwayatan hadits yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang meriwayatkannya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya selain dia.
2.      Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadits tertentu.
3.      Menyalahi kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama, kewajiban shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain.[15]
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khathib dalam bukunya, hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttahan bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melaului perbuatan maupun perkataannya, atau yang sering sekali salah dan lupa.[16]
Contoh Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Daud dalam Qadha’ Al-Hawa’ij melalui Juwaibir bin Sa’ad Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari nabi SAW, bersabda:

عَلَيْكُمْ بِإِصْطِنَاعِ الْمَعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوْءِ وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Wajib atas kamu berbuat yang ma’ruf, sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah asamaran (sirr), sesungguhnya ia  mematikan murka Allah azza wa jalla.
Pada isnad hadits tersebut terdapat Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni berkata, bahwa ia matruk al-hadits, menurut Ibnu Ma’in: لَيْسَ بِشَيْئٍ = tidak ada apa-apa.
Tingkatan Hadits Matruk
Yang jelas, hadits matruk merupakan tingkatan hadits dha’if yang terendah. Karena cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta.[17]

G.    Hadits mathruh
Al-Hafidz adz-Dzahabiy menjadikan hadits mathruh sebagai jenis tersendiri. Beliau mengambil istilah dari para ulama’ “ Fulan Mathruh al-Hadits” (seorang yang terlempar haditsnya). Beliau mengatakan: ia termasuk dalam daftar hadits-hadits perawi dha’if yang tertinggal haditsnya.
Syeikh Thahir al-Jaza’iriy berpendapat bahwa ia tidak lain adalah hadits matruk, yakni yang diriwayatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk yang sering berbuat dusta dalam selain hadits. Beliau mengatakan bahwa dengan demikian ia termasuk jenis yang memiliki dua nama sekaligus. Kami sangat sependapat dengan pendapat ini, yakni antara hadits matruk dan mathruh tidak ada perbedaan yang perlu ditonjolkan, baik secara etimologi maupun terminologi. [18]











KESIMPULAN

Hadits-hadits dha’if yang disebabkan cacat selain keterputusan sanad, yaitu :
1.      Hadits Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang tidak disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya hadits mudha’af mengandung kedha’ifan, baik dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian lain menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah.
2.      Hadits Muththarib
Hadits Mutharib adalah hadits yang berbeda antara satu dengan yang lain tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di-tarjih (tidak dapat dicari yang lebih unggul) dan sama kekuatan atau kualitasnya.
3.      Hadits Maqlub
Hadits Maqlub  adalah hadits yang terbalik susunan kalimatnya yang tidak sesuai dengan susunan yang semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata lain dengan tujuan tertentu.
4.      hadits syadz adalah bila di antara sekian banyak perawi tsiqah ada di antara mereka yang menyimpang dari perawi yang lainnya.
5.      Hadits Munkar adalah Hadits yang sanadnya ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikannya.
6.      Hadits Mathruk adalah Hadits yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.










DAFATAR KEPUSTAKAAN
‘Ajjaj Al-khathib Muhammad, ushulu al-hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media    Partama,    jakarta, 1998.
Khon Abdul Majid, ulumul hadits, Amzah, Jakarta, 2009.
al-Shalih Shubhi, ulum al-hadts wa Musthalahuhu, Dar al-‘Ilmi al-malayin, Beirut, 1988


[1]Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, ushulu al-hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media      Partama,    jakarta, 1998, hal 310.
[2] Abdul Majid Khon, ulumul hadits, Amzah, Jakarta, 2009, hal 194
[3]Op-cit , Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 310
[4]Op-cit, Abdul Majid Khon, hal 194
[5] Shubhi al-Shalih, ulum al-hadts wa Musthalahuhu, Dar al-‘Ilmi al-malayin, Beirut, 1988, hal 195
[6] Ibid, hal 195
[7] Ibid, hal 194
[8] Ibid, hal 197
[9] Op-cit, Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 312
[10] Op-cit, Abdul Majid Khon, hal, 198
[11] Op-cit, Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 313
[12] Op-cit, Abdul Majid Khon, hal, 188
[13] Op-cit, Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 313
[14] Op-cit, Abdul Majid Khon, hal, 188-189
[15] Op-cit, Abdul Majid Khon, hal, 183-184
[16] Op-cit, Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal313-314
[17] Op-cit, Abdul Majid Khon, hal, 183-184
[18] Op-cit, Muhammad ‘Ajjaj Al-khathib, hal 314.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar