Minggu, 22 Juni 2014

ulumul al-qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji kita panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah menciptakan dan mengaturkehidupan dunia dan hanya karena berkat  rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah kami ini. Shalawat berangkaikan salam mari lah kita haturkan kepada junjungan kita putra Abdullah buah hati Siti aminah yaitu baginda nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan para pengikutnya sampai hari kiamat.
  Seorang muslim,tidak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan al-Quran. Seorang muslim mempelajari al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran” ilmiah, tetapi juga mencari isi dan kandungan al-Quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah yang merupakan bagian dari telaah tentang al-Quran seluruh usaha membeberkan berbagai bentuk hubungan dan kemiripan-kemiripan dalam al-Quran adalah tidak terlepas dari usaha membuktikan bahwa al-Quran sebagai “sesuatu yang sangat luar biasa”.
Oleh karena itu disini pemakalah akan menjelaskan tentang pengertian dan macam-macam munasabah serta urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah. harapan kami makalah ini dapat menambah pengetahuan kita tentang ulumul Quran.   













BAB II
PEMBAHASAN
MUNASABAH AL-QURAN
A.    Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa Arab, nasaba-yunasibu-munasabatan yang berarti musyakalah (keserupaan), dan muqarabah (kedekatan)[1]. Dikatakan:”Fulan yunasib fulan”, maka maksudnya adalah ia mendekati dan menyerupai si fulan. Dan diantara pengertian ini adalah munasabah illat hukum dalam bab qiyas, yaitu sifat yang berdekatan dengan hukum.[2] Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang makna munasabah secara etimologis ini, dapat kita petik tulisan al-Zarkasi dalam kitab al-burhan fi ‘Ulumil al-Quran sebagai berikut: ”ketahuilah bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran dan dapat dipergunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang diucapkan. Kata munasabah menurut bahasa adalah mendekati (muqarabah): fulan yunasibu fulan, maksudnya ia mendekati dan menyerupai. Kata al-nasib adalah kerabat dekat, seperti dua bersaudara, saudara sepupu dan semacamnya. Jika keduanya munasabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Ada pula munasabah dalam illat (sebab) pada kajian qiyas ( analogi): sifat yang mendekati hukum, sebab apabila terdapat kedekatannya (sifat) dengannya (hukum), maka dapat diduga apabila sifat tersebut ada, maka hukum itu ada. Oleh karena itu, dikatakan bahwa munasabah adalah sesuatu yang rasional, yang apabila diperlihtkan pada akal pikiran ia akan diterima dengan baik. Demikian pula munasabah pada bagian-bagian permulaan ayat dan bagian akhirnya. Munasabah- dan Allah lebih mengetahui- bersumber pada makna yang mengaitkan antara keduanya: umum atau khusus, rasional, intuitif atau imajinatif dan lain-lain hubungan. Atau ketergantungan mentalistik seperti sebab dan akibat, illat dan ma’lul, dua hal yang mirip, dua hal yang bertentangan dan sebagainya,atau keterkaitan eksternal seperti penyusunan atas dasar realitas yang ada dalam berita. Kegunaan ilmu ini adalah menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bagunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis.”[3]
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah membuat definisi yang beragam terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam az-Zarkasyi sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan yang panjang diatas, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Sedangkan menurut manna’ al-Qaththan, dalam mabahis fi ‘ulum al-Quran memaknai sebagai berikut: 
والمراد بالمناسبة هنا وجه الا رتباط بين الجملة والجملة في الاية الواحدة او بين الاية في الايات المتعد دة او بين السورة والسورة"
Artinya:    yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain, antara satu surah dengan surah lain[4].
Sedangkan Imam As-Sayuti, mendefinisikan munasabah itu kepada “Keterkaitan ayat-ayat al-Quran antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.[5] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat al-Quran antara satu dengan yang lainnya.”
Berdasarkan kajian munasabah, ayat-ayat al-Quran dianggap tidak terasing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan dan keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surah dengan isi surah, awal surah dengan akhir surah, antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap ayat, dan lain sebagainya.


B.     Macam-Macam Munasabah                                                                                          
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan munasabah adalah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat al-Quran secara retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Hud/11 ayat 1:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ
Artinya:    Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi  serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Tentu, pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang bersifat tauqifi; tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan al-Quran, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknany dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
Hal ini tidak berarti bahwa seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, kaena al-Quran turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.seorang mufassir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuain itu, sebab kalau memaksakannya juga, maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat hal ini tidak disukai.
Para mufassir melihat banyak macam munasabah al-Quran. Akan tetapi, secara garis besar diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu zhahir (jelas) dan mudhmar (tersembunyi). Munasabah zhahir terdiri dari beberapa macam, diantaranya yaitu:
a.       Suatu ayat menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya, penjelasan suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan itu. Hal ini, contohnya dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 3-5:
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ    
Artinya: yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.  Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
                                                                                               
Ayat ketiga menjelaskan karakteristik orang-orang yang bertaqwa, yaitu beriman dengan hal-hal yang ghaib, mendirikan shalat dan membantu jalan Allah dengan harta yang dimilikinya. Karakteristik orang bertaqwa ini belum tuntas dijelaskan dalam ayat tiga tersebut, maka ayat empat dan lima menjelaskannya lebih lanjut. Dimana, orang-orang yang bertaqwa selain beriman dengan yang ghaib, shalat dan bersedekah juga ditandai dengan keyakinannya terhadap al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya sebagai wahyu yang datang dari Allah serta meyakini akan adanya hari berbangkit. Ketaqwaan dengan karakteristik semacam ini berefek positif terhadap orang yang bertaqwa itu sendiri, yaitu beroleh hidayah dan kemenangan dari Allah. Jadi, ayat empat sampai lima menyempurnakan penjelasan ayat tiga.
b.      Tawqid ( menguatkan). Suatu ayat menguatkan isi kandungan ayat lainnya. Hal ini, sebagai contoh , dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 149-150:
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNà6ydqã_ãr ¼çntôÜx© žxy¥Ï9 tbqä3tƒ Ĩ$¨Y=Ï9 öNä3øn=tæ îp¤fãm žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNåk÷]ÏB Ÿxsù öNèdöqt±øƒrB ÎTöqt±÷z$#ur §NÏ?T{ur ÓÉLyJ÷èÏR ö/ä3øn=tæ öNä3¯=yès9ur tbrßtGöhs? ÇÊÎÉÈ
Artinya:  Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

Ayat 149 memperbincangkan kemestian berkiblat ke Masjid al-Haram. Dan diantara ini kandungan ayat 150 juga perintah berkiblat ke Masjid al-Haram. Maka munasabah ayat 149 dan ayat 150 adalah tawqid, 150 menguatkan isi kandungan ayat sebelumnya. Tetapi ayat 150 itu tidak hanya semata-mata menguatkan saja; didalamnya termuat pesan-pesan lain, yaitu hikmah kenapa dipalingkan ke Masjid al-Haram dan menanamkan sikap kehati-hatian bagi orang mukmin terhadap orang kafir, serta optimis berpegang kepada ajaran al-Quran, dan tidak perlu takut kepada orang-orang kafir tersebut.
c.       Tafsir (menjelaskan). Suatu ayat menjelaskan atau menafsirkan ayat sebelumnya kadang - kadang ada ayat yang membicarakan suatu permasalahan atau istilah, tetapi ayat itu tidak menjelaskan maksud permasalahan dan istilah itu. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan makna, konsep atau karakteristik istilah yang digunakan Maka munasabah antara kedua ayat tersebut terletak pada hubungan penjelas (mufassir) dengan yang dijelaskan ( mufassar ), yaitu ayat kedua menjelaskan makna ayat pertama.               
Sebagai contoh, mengenai munasabah ini dapat disimak dalam firman Allah Surah al-Baqarah ayat 26 dan 27. Ayat yang pertama (26) menggunakan istilah fasiqin, tetapi tidak menjelaskan maksed atau karakteristik fasiqin tersebut. Maka ayat terakhir (27) menjelaskan maksud dan kriteria fasiqin itu. Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# Ÿw ÿ¾ÄÓ÷ÕtGó¡tƒ br& z>ÎŽôØo WxsVtB $¨B Zp|Êqãèt/ $yJsù $ygs%öqsù 4 $¨Br'sù šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä tbqßJn=÷èuŠsù çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ ( $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 šcqä9qà)usù !#sŒ$tB yŠ#ur& ª!$# #x»ygÎ/ WxsVtB ¢ @ÅÒム¾ÏmÎ/ #ZŽÏVŸ2 Ïôgtƒur ¾ÏmÎ/ #ZŽÏWx. 4 $tBur @ÅÒムÿ¾ÏmÎ/ žwÎ) tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÏÈ tûïÏ%©!$# tbqàÒà)Ztƒ yôgtã «!$# .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÉ)»sWŠÏB tbqãèsÜø)tƒur !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& Ÿ@|¹qムšcrßÅ¡øÿãƒur Îû ÇÚöF{$# 4 šÍ´¯»s9'ré& ãNèd šcrçŽÅ£»yø9$# ÇËÐÈ              
Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi. (QS.Al-Baqarah : 26-27).

                Al-Quran dalam membimbing manusia selalu menggunakan fenomena alam dan isinya sebagai media, termasuk binatang-binatang kecil, seperti laba-laba, semut dan lebah. Orang-orang kafir menanggapi hal itu secara negatif, mereka semakin sesat dengan tanggapan negatifnya itu. Ayat 26 ini menggambarkan tanggapan mereka, yaitu ماذا اراد الله بهذا مثلا ( apa yang Allah inginkan dengan perumpamaan ini?). justru itu, mereka menjadi sesat dan fasiq. Akan tetapi, ayat 26 tidak menjelaskan maksed fasiq dan karakteristik fasiq tersebut, yaitu memungkiri janji, memutuskan silaturrahim dan berbuat kerusakan. Dengan sebab perbuatan ini, mereka menjadi orang - orang yang merugi.
            Munasabah yang tersembunyi (mudhmar) adalah keterkaitan atau keserasian yang tidak jelas; pada lahiriahnya seolah – olah, seatu ayat terasing dari ayat yang lain atau alur pembicaraannya tidak ada ketersambungan. Tetapi apabila diteliti secara dalam akan terlihat keterkaitannya. Munasabah ayat - ayat seperti ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: 
a.       Ayat tersebut dihubungkan oleh huruf ‘athaf, seperti yang terlihat dalam surah saba’ ayat 2: 
      ãNn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù 4 uqèdur ÞOŠÏm§9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ
 Artinya :  ia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.

                Ungkapan   ما يلج في الارض وما يخرج منها seolah - olah tidak berhubungan dengan ungkapan وما ينرل من السماء وم يعرج فيها , sebab yang pertama berbicara tentang sesuatu yang masuk dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun dan naik dari langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Sebab fokus pembicaraannya masalah ilmu Tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi  di langit dan di bumi. Kedua ungkapan itu membicarakan topik yang sama, yaitu ilmu Allah. Oleh karna itu, keduanya dihubungkan oleh waw ‘athaf
            Munasabah dengan waw ‘athaf ini biasanya menghubungkan dua hal yang berlawanan, seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmad dan azab serta tarkgib dan tarhib.
b.      Al-Mudhaddah (berlawanan), yaitu dua ayat berurutan yang memperbincangkan dua hal yang berlawanan seperti surga dan neraka serta kafir dan iman. Hal ini contohnya dapat dilihat dalam surah An-Nisa’ ayat 150, 151 dan 152:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrãàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur šcr߃̍ãƒur br& (#qè%Ìhxÿムtû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur šcqä9qà)tƒur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbr߃̍ãƒur br& (#räÏ­Gtƒ tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYŠÎgB ÇÊÎÊÈ tûïÏ%©!$#ur (#qãYtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur óOs9ur (#qè%Ìhxÿムtû÷üt/ 7tnr& öNåk÷]ÏiB y7Í´¯»s9'ré& t$ôqy öNÎgÏ?÷sムöNèduqã_é& 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊÎËÈ                      
 Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,dan bermaksud memperbedakan  ant ra (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.  Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang. (QS, An -Nisa’:150-152).
Ayat 150-151 bercerita tentang karakteristik orang - orang kafir  dan balasan atas mereka; mereka ingkar kepada Allah dan rasul-Nya, membedakan antara Allah dan rasul-Nya serta mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain. Maka Allah menimpakan azab kepada mereka. Sedangkan ayat 152 berbicara tentang orang - orang mukmin, dimana mereka mempercayai semua rasul yang di utus oleh Allah. Maka Allah memberikan balasan dan mengampuni mereka.
Secara zhahir, kedua kelompok ayat 150 - 151 dan 152 ini tidak mempunyai hubungan. Sebab ayat yang pertama berbicara tentang orang kafir sedangkan ayat yang terakhir berbicara tentang orang mukmin, dan keduanya tidak pula dihubungkan oleh waw ‘athaf. Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, hubungan  itu akan terlihat; dimana lazimnya al-Quran bercerita tentang iman   dan orang mukmin kemudian diiringi dengan perbincangan mengenai orang kafir. Hal ini bermaksud memotivasi pembaca agar menghindari kekafiran dan berpegang kepada iman. Inilah salah satu metode al-Quran dalam memberikan petunjuk dan pengajaran kepada umat manusia. Jadi,kedua ayat itu dalam satu kerangka. Munasabah-nya disebut dengan al-Mudhaddah (berlawanan), karena kafir merupakan lawan iman.
c.        Istithrad (sampai), yaitu perbincangan suatu ayat mengenai suatu  masalah sampai kepada hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang diperbincangkan itu. Hal ini seperti yang terdapat dalam surah al-A’raf ayat 26:
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 šÏ9ºsŒ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbr㍩.¤tƒ ÇËÏÈ                 
Artinya:    Hai anak Adam Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamuPakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.(QS, Al-A’raf: 26)

Kata walibasut taqwa dalam ayat ini tidak ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya, sebab ungkapan sebelumnyaa berbicara tentang pakaian penutup aurat sedangkan walibasut taqwa (pakaian taqwa) bukan pakaian fisik sebagai penutup aurat. Jadi, secara zhahir kata walibasut taqwa tidak ada  hubungannya dengan aurat. Akan tetapi, hubungannya terlihat pada pakaian sebagai penutup aurat yang merupakan bagian dari taqwa. Dengan demikian, penjelasan al-Qur’an melewati (istithrad) hal-hal yang sedang dibicarakan sehingga sampai pada hal yang lain. Dimana hal lain tersebut juga merupakan bagian dari karakteristik yang sedang dibicarakan. Atau hal lain itu mempunyai hukum yang sama dengan apa yang sedang dibicarakan.
d.     At-takhallush (memperindah peralihan)[6], yaitu al-qur’an beralih dari suatu pembicaraan kepada pembicaraan yang lain guna memotivasi pendengar untuk memperhatikannya. Hal ini dapat dilihat dalam surat an-nisa’ ayat 172  :
`©9 y#Å3YtFó¡o ßxŠÅ¡yJø9$# br& šcqä3tƒ #Yö7tã °! Ÿwur èps3Í´¯»n=yJø9$# tbqç/§s)çRùQ$# 4 `tBur ô#Å3ZtGó¡o ô`tã ¾ÏmÏ?yŠ$t6Ïã ÷ŽÉ9ò6tGó¡tƒur öNèdçŽà³ósu|¡sù Ïmøs9Î) $YèŠÏHsd ÇÊÐËÈ
Artinya : Al masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)[386]. barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.
Fokus perbincangan ayat ini dan ayat sebelumnya adalah mengenai kepercayaan orang nashrani yang mengangkat nabi isa as sebagai tuhan dalam ayat 171, Allah memperingatkan orang-orang nashrani bahwa Nabi Isa AS (yesus) hanya seorang rasul, dia bukan tuhan dan bukan juga unsur tuhan. Ayat ini menolak kepercayaan trinitas yang diyakini oleh umat nashrani. Dalam ayat 172 ditegaskan pula, bahwa yesus tidak pernah enggan menjadi hamba Allah, tetapi perbincangan ayat itu tidak hanya menyangkut ketidak engganan Isa AS menjadi hamba Allah. Perbincangan juga sampai kepada ketidak engganan malaikat menjadi hamba Allah (wa la al-malaikah al-muqarrabun). Jadi, seolah-olah perbincangan potongan ayat ini keluar dari topik yang sedang dibicarakan, yaitu dari status yesus, sebagai rasul dan hamba Allah, beralih kepada malaikat. Akan tetapi, kedua persoalan ini masih dalam kerangka inti yang sama yaitu ada makhluk yang dianggap tuhan atau unsur tuhan baik manusia ataupun malaikat. Yesus yang dianggap tuhan oleh kaum nashrani tidak pernah enggan menjadi hamba Allah. Sebagaimana malaikat yang disembah oleh orang musyrik juga tidak pernah enggan menjadi hambanya. Jadi, topik inti perbincangan ayat-ayat itu adalah bentuk-bentuk syirik. Perbincangan mengenai Nabi Isa dan malaikat yang disembah sebagian manusia adalah sebagai sub topiknya.
C.    Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Ilmu munasabah al-Quran sangat penting dikuasai dalam menafsirkan al-Quran. Ia sangat membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan al-Quran. Memahami al-Quran dengan ilmu munasabah berarti mengistimbatkan makna ayat sesuai dengan konteksnya. Tanpa memperhatikan aspek munasabah mungkin akan terjadi pemahaman diluar konteks ayat, bahkan bisa keliru dalam memahaminya.
Ayat-ayat al-Quran itu banyak bercerita tentang umat-umat terdahulu, baik peristiwa yang berlaku pada mereka maupun kewajiban-kewajiban yang pernah dibebankan atas mereka. Jika suatu ayat dipelajari tanpa melihat keterkaitan ayat dengan ayat-ayat lain maka mungkin akan terjadi penetapan hukum yang sebenarnya hukum itu hanya dibebankan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW, yang tidak diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Bahkan tanpa munasabah ini seperti yang telah disinggung diatas mungkin terjadi kekeliruan dalam memahami ayat seperti pemahaman kaum bathiniyah terhadap penggalan surat al- Araf ayat 157 :
     tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7­Ftƒ tAqß§9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã ̍x6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìŸÒtƒur öNßg÷Ztã öNèduŽñÀÎ) Ÿ@»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøŠn=tæ 4 šúïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
 Kaum Bathiniyah mamahami ayat ini bahwa ada orang-orang tertentu yang telah dibebaskan dari larangan dan kewajiban agama yang dianggap sebagai belenggu bagi mereka. Orang-rang telah sampai pada peringkat tersebut boleh berbuat apa saja yang mereka sukai. Padahal memahami ayat ini tidak dapat dilepaskan dari ayat sebelumnya.
Sebenarnya, ayat ini bercerita tentang eksistensi kerasulan Nabi Muhammad SAW bagi ahlul kitab (yahudi dan nasrani). Nabi Muhammad yang telah diberitakan kedatangannya dalam taurat dan injil, banyak membawa keuntungan dan kesenangan bagi mereka. Diantara keuntungan itu adalah pembatalan kewajiban dan larangan dalam kedua kitab suci tersebut yang sangat berat mereka pikul. Hal ini diganti dengan kewajiban dan larangan baru yang lebih ringan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW atau dengan kata lain syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW manasakh-kan syaritaurat dan injil yang sangat berat mereka pikul. Diantara hukum-hukum yang berat itu adalah cara bertaubat dengan bunuh diri, yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 54, binatang yang haram dikonsumsi, cara menyuci pakaian yang terkena najis, sistem qishash, masa berpuasa, dan lain sebagainya. Kekeliruan pemahaman kaum bathiniyah lebih jelas terlihat jika dikaitkan dengan isi kandungan awal surat al- Anfal ayat 157 tersebut fokus perbincangan ayat itu adalah fungsi dan manfaat kerasulan Nabi Muhammad SAW bagi orang yahudi dan nashrani, diantara fungsi dan manfaat itu adalah menyuruh mereka berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan, menghalalkan hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik dan meringankan beban yang pernah dipikulkan atas mereka berdasarkan perintah yang terdapat dalam taurat dan injil.
Selain dari kegunaan dan faidah diatas, terdapat pula manfaat atau faidah ilmu munasabah lainnya bagi mufassir, yaitu dapat memperluas pemhaman terhadap ayat yang sedang ditafsirkan.    
Adapun kegunaan utama dari ilmu munasabah diantaranya adalah :
1.      Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat dalam al-Quran.
2.      Untuk menjadikan bagian-bagian dalam al-Quran saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh.
3.      Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
4.      Untuk menjawab kritikan orang luar terhadap sistematika al-Quran.[7]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa munasabah ialah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Adapun macam-macam munasabah yaitu ada dua yang pertama, munasabah antar surat ( al-munasabah baina al-suwar) dan yang kedua, munasabah antar ayat ( al-munsabah baina al-ayat), kedua bagian ini dibagi lagi menjadi dua yaitu ada yang bersift dzahir dan ada yang bersifat mudhmar.





















Daftar Pustaka

Nor Ichhwan, Muhammad, Studi ilmu-ilmu al-Quran, Semarang: Rasail Media Graup,2008
al-Qathan, Manna’, Mabahits fi UlumIl Qur’an, Riyadh : Muassasah ar-Risalah,1981

M. Yusuf , Kadar, Studi Al-quran, Jakarta: Amzah,2009
Syafi’i ,Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir,  bandung: pustaka setia 2006
Anwar ,Abu  , Ulumul Quran sebagai pengantar, (ttp: Amzah), 2002


[1] . Muhammad Nor Ichhwan, Studi ilmu-ilmu al-Quran, (Semarang: Rasail Media Graup,2008), h. 139
[2] . ibid.
[3]Ibid, h. 140
[4] . Manna’ al-Qathan, Mabahits fi UlumIl Qur’an, (Riyadh : Muassasah ar-Risalah,1981), h. 97
[5] . Kadar M. Yusuf, Studi Al-quran,( Jakarta: Amzah,2009), h. 101 
[6] . Rachmat Syafi’i, Pengantar Ilmu Tafsir, ( bandung: pustaka setia) 2006, h. 40    
                [7]. Abu Anwar, Ulumul Quran sebagai pengantar, (ttp: Amzah), 2002, h. 76 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar