BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji kita panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah
menciptakan dan mengaturkehidupan dunia dan hanya karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah kami ini. Shalawat berangkaikan salam mari lah kita haturkan
kepada junjungan kita putra Abdullah buah hati Siti aminah yaitu baginda nabi
besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan para pengikutnya sampai hari
kiamat.
Seorang muslim,tidak dapat
menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan al-Quran. Seorang muslim
mempelajari al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran” ilmiah, tetapi juga
mencari isi dan kandungan al-Quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah
yang merupakan bagian dari telaah tentang al-Quran seluruh usaha membeberkan
berbagai bentuk hubungan dan kemiripan-kemiripan dalam al-Quran adalah tidak
terlepas dari usaha membuktikan bahwa al-Quran sebagai “sesuatu yang sangat
luar biasa”.
Oleh karena itu disini pemakalah akan menjelaskan tentang
pengertian dan macam-macam munasabah serta urgensi dan kegunaan mempelajari
munasabah. harapan kami makalah ini dapat menambah pengetahuan kita tentang
ulumul Quran.
BAB II
PEMBAHASAN
MUNASABAH
AL-QURAN
A.
Pengertian Munasabah
Secara
etimologi, munasabah berasal dari bahasa Arab, nasaba-yunasibu-munasabatan
yang berarti musyakalah (keserupaan), dan muqarabah (kedekatan)[1]. Dikatakan:”Fulan
yunasib fulan”, maka maksudnya adalah ia mendekati dan menyerupai si fulan.
Dan diantara pengertian ini adalah munasabah illat hukum dalam bab qiyas,
yaitu sifat yang berdekatan dengan hukum.[2] Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang makna munasabah secara
etimologis ini, dapat kita petik tulisan al-Zarkasi dalam kitab al-burhan fi
‘Ulumil al-Quran sebagai berikut: ”ketahuilah bahwa munasabah merupakan
ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran dan dapat dipergunakan
untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang diucapkan. Kata munasabah
menurut bahasa adalah mendekati (muqarabah): fulan yunasibu
fulan, maksudnya ia mendekati dan menyerupai. Kata al-nasib adalah
kerabat dekat, seperti dua bersaudara, saudara sepupu dan semacamnya. Jika
keduanya munasabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat
(qarabah). Ada pula munasabah dalam illat (sebab) pada
kajian qiyas ( analogi): sifat yang mendekati hukum, sebab apabila terdapat
kedekatannya (sifat) dengannya (hukum), maka dapat diduga apabila sifat
tersebut ada, maka hukum itu ada. Oleh karena itu, dikatakan bahwa munasabah
adalah sesuatu yang rasional, yang apabila diperlihtkan pada akal pikiran ia
akan diterima dengan baik. Demikian pula munasabah pada bagian-bagian
permulaan ayat dan bagian akhirnya. Munasabah- dan Allah lebih
mengetahui- bersumber pada makna yang mengaitkan antara keduanya: umum atau
khusus, rasional, intuitif atau imajinatif dan lain-lain hubungan. Atau
ketergantungan mentalistik seperti sebab dan akibat, illat dan ma’lul,
dua hal yang mirip, dua hal yang bertentangan dan sebagainya,atau keterkaitan
eksternal seperti penyusunan atas dasar realitas yang ada dalam berita.
Kegunaan ilmu ini adalah menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga
penyusunannya menjadi seperti bagunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun
harmonis.”[3]
Sedangkan
secara terminologis, para ulama telah membuat definisi yang beragam terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam az-Zarkasyi sebagaimana dapat dilihat
dalam kutipan yang panjang diatas, memaknai munasabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz
umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan
sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh)
dan sebagainya. Sedangkan menurut manna’ al-Qaththan, dalam mabahis fi ‘ulum
al-Quran memaknai sebagai berikut:
والمراد بالمناسبة هنا وجه الا رتباط بين
الجملة والجملة في الاية الواحدة او بين الاية في الايات المتعد دة او بين السورة
والسورة"
Artinya: yang dimaksud dengan munasabah dalam
pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain
dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain, antara satu surah dengan
surah lain[4].
Sedangkan Imam
As-Sayuti, mendefinisikan munasabah itu kepada “Keterkaitan ayat-ayat al-Quran
antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu
ungkapan yang rapi dan sistematis.[5] Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang
membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat al-Quran antara satu
dengan yang lainnya.”
Berdasarkan
kajian munasabah, ayat-ayat al-Quran dianggap tidak terasing antara satu
dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan dan keserasian. Hubungan itu
terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surah dengan isi surah, awal
surah dengan akhir surah, antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap
ayat, dan lain sebagainya.
B.
Macam-Macam Munasabah
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan munasabah adalah
segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat,
antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah
dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat
dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat al-Quran secara retorik,
kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya
bahasanya.hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. Hud/11 ayat 1:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
Artinya: Alif
laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Tentu,
pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlah hal
yang bersifat tauqifi; tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan
tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan al-Quran, rahasia retorika, dan
segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknany dan sesuai
dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi tersebut
dapat diterima.
Hal ini tidak
berarti bahwa seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, kaena
al-Quran turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi.seorang mufassir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat
dan terkadang tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk
menemukan kesesuain itu, sebab kalau memaksakannya juga, maka kesesuaian itu
hanyalah dibuat-buat hal ini tidak disukai.
Para mufassir
melihat banyak macam munasabah al-Quran. Akan tetapi, secara garis besar
diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu zhahir (jelas) dan mudhmar
(tersembunyi). Munasabah zhahir terdiri dari beberapa macam,
diantaranya yaitu:
a.
Suatu ayat
menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya, penjelasan suatu ayat mengenai
suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat
berikutnya menyempurnakan penjelasan itu. Hal ini, contohnya dapat dilihat
dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 3-5:
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sã !$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qã ÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ
Artinya:
yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang
Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka Itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat ketiga menjelaskan
karakteristik orang-orang yang bertaqwa, yaitu beriman dengan hal-hal yang
ghaib, mendirikan shalat dan membantu jalan Allah dengan harta yang
dimilikinya. Karakteristik orang bertaqwa ini belum tuntas dijelaskan dalam
ayat tiga tersebut, maka ayat empat dan lima menjelaskannya lebih lanjut.
Dimana, orang-orang yang bertaqwa selain beriman dengan yang ghaib, shalat dan
bersedekah juga ditandai dengan keyakinannya terhadap al-Quran dan kitab-kitab
yang diturunkan sebelumnya sebagai wahyu yang datang dari Allah serta meyakini
akan adanya hari berbangkit. Ketaqwaan dengan karakteristik semacam ini berefek
positif terhadap orang yang bertaqwa itu sendiri, yaitu beroleh hidayah dan
kemenangan dari Allah. Jadi, ayat empat sampai lima menyempurnakan penjelasan
ayat tiga.
b.
Tawqid ( menguatkan). Suatu ayat menguatkan isi kandungan ayat lainnya.
Hal ini, sebagai contoh , dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Baqarah
ayat 149-150:
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNà6ydqã_ãr ¼çntôÜx© xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Y=Ï9 öNä3øn=tæ îp¤fãm wÎ) úïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNåk÷]ÏB xsù öNèdöqt±ørB ÎTöqt±÷z$#ur §NÏ?T{ur ÓÉLyJ÷èÏR ö/ä3øn=tæ öNä3¯=yès9ur tbrßtGöhs? ÇÊÎÉÈ
Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kamu kerjakan.Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu,
dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Ayat 149 memperbincangkan kemestian
berkiblat ke Masjid al-Haram. Dan diantara ini kandungan ayat 150 juga perintah
berkiblat ke Masjid al-Haram. Maka munasabah ayat 149 dan ayat 150
adalah tawqid, 150 menguatkan isi kandungan ayat sebelumnya. Tetapi ayat
150 itu tidak hanya semata-mata menguatkan saja; didalamnya termuat pesan-pesan
lain, yaitu hikmah kenapa dipalingkan ke Masjid al-Haram dan menanamkan sikap
kehati-hatian bagi orang mukmin terhadap orang kafir, serta optimis berpegang
kepada ajaran al-Quran, dan tidak perlu takut kepada orang-orang kafir
tersebut.
c.
Tafsir (menjelaskan). Suatu ayat menjelaskan atau menafsirkan ayat sebelumnya
kadang - kadang ada ayat yang membicarakan suatu permasalahan atau istilah,
tetapi ayat itu tidak menjelaskan maksud permasalahan dan istilah itu. Kemudian
ayat berikutnya menjelaskan makna, konsep atau karakteristik istilah yang
digunakan Maka munasabah antara kedua ayat tersebut terletak pada
hubungan penjelas (mufassir) dengan yang dijelaskan ( mufassar ),
yaitu ayat kedua menjelaskan makna ayat pertama.
Sebagai contoh, mengenai munasabah
ini dapat disimak dalam firman Allah Surah al-Baqarah ayat 26 dan 27. Ayat
yang pertama (26) menggunakan istilah fasiqin, tetapi tidak menjelaskan
maksed atau karakteristik fasiqin tersebut. Maka ayat terakhir (27)
menjelaskan maksud dan kriteria fasiqin itu. Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# w ÿ¾ÄÓ÷ÕtGó¡t br& z>ÎôØo WxsVtB $¨B Zp|Êqãèt/ $yJsù $ygs%öqsù 4 $¨Br'sù úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä tbqßJn=÷èusù çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ ( $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 cqä9qà)usù !#s$tB y#ur& ª!$# #x»ygÎ/ WxsVtB ¢ @ÅÒã ¾ÏmÎ/ #ZÏV2 Ïôgtur ¾ÏmÎ/ #ZÏWx. 4 $tBur @ÅÒã ÿ¾ÏmÎ/ wÎ) tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÏÈ tûïÏ%©!$# tbqàÒà)Zt yôgtã «!$# .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÉ)»sWÏB tbqãèsÜø)tur !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& @|¹qã crßÅ¡øÿãur Îû ÇÚöF{$# 4 Í´¯»s9'ré& ãNèd crçÅ£»yø9$# ÇËÐÈ
Artinya: Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah
maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu
banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka
Itulah orang-orang yang rugi. (QS.Al-Baqarah : 26-27).
Al-Quran dalam membimbing manusia selalu menggunakan fenomena alam
dan isinya sebagai media, termasuk binatang-binatang kecil, seperti laba-laba,
semut dan lebah. Orang-orang kafir menanggapi hal itu secara negatif, mereka
semakin sesat dengan tanggapan negatifnya itu. Ayat 26 ini menggambarkan
tanggapan mereka, yaitu ماذا اراد الله بهذا مثلا ( apa yang Allah inginkan dengan
perumpamaan ini?). justru itu, mereka menjadi sesat dan fasiq. Akan tetapi,
ayat 26 tidak menjelaskan maksed fasiq dan karakteristik fasiq tersebut, yaitu
memungkiri janji, memutuskan silaturrahim dan berbuat kerusakan. Dengan sebab
perbuatan ini, mereka menjadi orang - orang yang merugi.
Munasabah
yang tersembunyi (mudhmar) adalah keterkaitan atau keserasian yang tidak
jelas; pada lahiriahnya seolah – olah, seatu ayat terasing dari ayat yang lain
atau alur pembicaraannya tidak ada ketersambungan. Tetapi apabila diteliti
secara dalam akan terlihat keterkaitannya. Munasabah ayat - ayat seperti
ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu:
a. Ayat tersebut dihubungkan oleh huruf ‘athaf,
seperti yang terlihat dalam surah saba’ ayat 2:
ãNn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù 4 uqèdur ÞOÏm§9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ
Artinya :
ia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha
Penyayang lagi Maha Pengampun.
Ungkapan ما يلج في الارض وما يخرج
منها
seolah - olah tidak berhubungan dengan ungkapan وما ينرل من السماء وم يعرج فيها , sebab yang pertama berbicara tentang sesuatu yang masuk dan
keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun
dan naik dari langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan
saling terkait antara satu dengan yang lain. Sebab fokus pembicaraannya masalah
ilmu Tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi di langit dan di bumi. Kedua ungkapan itu
membicarakan topik yang sama, yaitu ilmu Allah. Oleh karna itu, keduanya
dihubungkan oleh waw ‘athaf.
Munasabah
dengan waw ‘athaf ini biasanya menghubungkan dua hal yang berlawanan,
seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmad dan azab
serta tarkgib dan tarhib.
b.
Al-Mudhaddah (berlawanan), yaitu dua ayat berurutan yang memperbincangkan dua
hal yang berlawanan seperti surga dan neraka serta kafir dan iman. Hal ini
contohnya dapat dilihat dalam surah An-Nisa’ ayat 150, 151 dan 152:
¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrãàÿõ3t «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur crßÌãur br& (#qè%Ìhxÿã tû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur cqä9qà)tur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbrßÌãur br& (#räÏGt tû÷üt/ y7Ï9ºs ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYÎgB ÇÊÎÊÈ tûïÏ%©!$#ur (#qãYtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur óOs9ur (#qè%Ìhxÿã tû÷üt/ 7tnr& öNåk÷]ÏiB y7Í´¯»s9'ré& t$ôqy öNÎgÏ?÷sã öNèduqã_é& 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÎËÈ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang
yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,dan bermaksud memperbedakan ant ra (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya,
dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir
terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),Merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak
Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi MahaPenyayang. (QS, An -Nisa’:150-152).
Ayat 150-151
bercerita tentang karakteristik orang - orang kafir dan balasan atas mereka; mereka ingkar kepada
Allah dan rasul-Nya, membedakan antara Allah dan rasul-Nya serta mengimani
sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain. Maka Allah menimpakan
azab kepada mereka. Sedangkan ayat 152 berbicara tentang orang - orang mukmin,
dimana mereka mempercayai semua rasul yang di utus oleh Allah. Maka Allah memberikan
balasan dan mengampuni mereka.
Secara zhahir,
kedua kelompok ayat 150 - 151 dan 152 ini tidak mempunyai hubungan. Sebab ayat
yang pertama berbicara tentang orang kafir sedangkan ayat yang terakhir
berbicara tentang orang mukmin, dan keduanya tidak pula dihubungkan oleh waw
‘athaf. Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, hubungan itu akan terlihat; dimana lazimnya al-Quran bercerita
tentang iman dan orang mukmin kemudian
diiringi dengan perbincangan mengenai orang kafir. Hal ini bermaksud memotivasi
pembaca agar menghindari kekafiran dan berpegang kepada iman. Inilah salah satu
metode al-Quran dalam memberikan petunjuk dan pengajaran kepada umat manusia.
Jadi,kedua ayat itu dalam satu kerangka. Munasabah-nya disebut dengan al-Mudhaddah
(berlawanan), karena kafir merupakan lawan iman.
c.
Istithrad (sampai), yaitu perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada hal lain yang tidak
berkaitan langsung dengan masalah yang sedang diperbincangkan itu. Hal ini
seperti yang terdapat dalam surah al-A’raf ayat 26:
ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqã öNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)G9$# y7Ï9ºs ×öyz 4 Ï9ºs ô`ÏB ÏM»t#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbrã©.¤t ÇËÏÈ
Artinya: Hai anak Adam Sesungguhnya kami Telah
menurunkan kepadamuPakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk
perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.(QS,
Al-A’raf: 26)
Kata walibasut
taqwa dalam ayat ini tidak ada kaitannya dengan ungkapan sebelumnya, sebab
ungkapan sebelumnyaa berbicara tentang pakaian penutup aurat sedangkan walibasut
taqwa (pakaian taqwa) bukan pakaian fisik sebagai penutup aurat. Jadi,
secara zhahir kata walibasut taqwa tidak ada hubungannya dengan aurat. Akan tetapi,
hubungannya terlihat pada pakaian sebagai penutup aurat yang merupakan bagian
dari taqwa. Dengan demikian, penjelasan al-Qur’an melewati (istithrad)
hal-hal yang sedang dibicarakan sehingga sampai pada hal yang lain. Dimana hal
lain tersebut juga merupakan bagian dari karakteristik yang sedang dibicarakan.
Atau hal lain itu mempunyai hukum yang sama dengan apa yang sedang dibicarakan.
d.
At-takhallush (memperindah peralihan)[6],
yaitu al-qur’an beralih dari suatu pembicaraan kepada pembicaraan yang lain
guna memotivasi pendengar untuk memperhatikannya. Hal ini dapat dilihat dalam
surat an-nisa’ ayat 172 :
`©9 y#Å3YtFó¡o ßxÅ¡yJø9$# br& cqä3t #Yö7tã °! wur èps3Í´¯»n=yJø9$# tbqç/§s)çRùQ$# 4 `tBur ô#Å3ZtGó¡o ô`tã ¾ÏmÏ?y$t6Ïã ÷É9ò6tGó¡tur öNèdçà³ósu|¡sù Ïmøs9Î) $YèÏHsd ÇÊÐËÈ
Artinya
: Al masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula
enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)[386]. barangsiapa yang
enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.
Fokus perbincangan ayat ini dan ayat sebelumnya
adalah mengenai kepercayaan orang nashrani yang mengangkat nabi isa as sebagai
tuhan dalam ayat 171, Allah memperingatkan orang-orang nashrani bahwa Nabi Isa
AS (yesus) hanya seorang rasul, dia bukan tuhan dan bukan juga unsur tuhan.
Ayat ini menolak kepercayaan trinitas yang diyakini oleh umat nashrani. Dalam
ayat 172 ditegaskan pula, bahwa yesus tidak pernah enggan menjadi hamba Allah,
tetapi perbincangan ayat itu tidak hanya menyangkut ketidak engganan Isa AS menjadi
hamba Allah. Perbincangan juga sampai kepada ketidak engganan malaikat menjadi
hamba Allah (wa la al-malaikah al-muqarrabun). Jadi, seolah-olah perbincangan
potongan ayat ini keluar dari topik yang sedang dibicarakan, yaitu dari status
yesus, sebagai rasul dan hamba Allah, beralih kepada malaikat. Akan tetapi,
kedua persoalan ini masih dalam kerangka inti yang sama yaitu ada makhluk yang
dianggap tuhan atau unsur tuhan baik manusia ataupun malaikat. Yesus yang
dianggap tuhan oleh kaum nashrani tidak pernah enggan menjadi hamba Allah.
Sebagaimana malaikat yang disembah oleh orang musyrik juga tidak pernah enggan
menjadi hambanya. Jadi, topik inti perbincangan ayat-ayat itu adalah “bentuk-bentuk syirik”. Perbincangan mengenai Nabi Isa dan malaikat
yang disembah sebagian manusia adalah sebagai sub topiknya.
C.
Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Ilmu munasabah al-Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkan
al-Quran. Ia sangat membantu mufassir dalam memahami dan mengeluarkan isi
kandungan al-Quran. Memahami al-Quran dengan ilmu munasabah berarti
mengistimbatkan makna ayat sesuai dengan konteksnya. Tanpa memperhatikan aspek
munasabah mungkin akan terjadi pemahaman diluar konteks ayat, bahkan bisa
keliru dalam memahaminya.
Ayat-ayat al-Quran itu banyak bercerita tentang
umat-umat terdahulu, baik peristiwa yang berlaku pada mereka maupun
kewajiban-kewajiban yang pernah dibebankan atas mereka. Jika suatu ayat
dipelajari tanpa melihat keterkaitan ayat dengan ayat-ayat lain maka mungkin
akan terjadi penetapan hukum yang sebenarnya hukum itu hanya dibebankan kepada
umat sebelum Nabi Muhammad SAW, yang tidak diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad
SAW. Bahkan tanpa munasabah ini seperti yang telah disinggung diatas
mungkin terjadi kekeliruan dalam memahami ayat seperti pemahaman kaum
bathiniyah terhadap penggalan surat al- A’raf ayat 157 :
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft tAqß§9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìÒtur öNßg÷Ztã öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøn=tæ 4 úïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi
yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya.
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
Kaum Bathiniyah mamahami ayat ini “ bahwa ada orang-orang tertentu yang telah
dibebaskan dari larangan dan kewajiban agama yang dianggap sebagai belenggu bagi
mereka. Orang-rang telah sampai pada peringkat tersebut boleh berbuat apa saja
yang mereka sukai”.
Padahal memahami ayat ini tidak dapat dilepaskan dari ayat sebelumnya.
Sebenarnya, ayat ini bercerita tentang
eksistensi kerasulan Nabi Muhammad SAW bagi ahlul kitab (yahudi dan
nasrani). Nabi Muhammad yang telah diberitakan kedatangannya dalam taurat dan
injil, banyak membawa keuntungan dan kesenangan bagi mereka. Diantara
keuntungan itu adalah pembatalan kewajiban dan larangan dalam kedua kitab suci
tersebut yang sangat berat mereka pikul. Hal ini diganti dengan kewajiban dan
larangan baru yang lebih ringan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW atau dengan
kata lain syari’at yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW manasakh-kan syari’taurat dan injil yang sangat berat mereka
pikul. Diantara hukum-hukum yang berat itu adalah cara bertaubat dengan bunuh
diri, yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 54, binatang yang haram
dikonsumsi, cara menyuci pakaian yang terkena najis, sistem qishash,
masa berpuasa, dan lain sebagainya. Kekeliruan pemahaman kaum bathiniyah lebih
jelas terlihat jika dikaitkan dengan isi kandungan awal surat al- Anfal ayat
157 tersebut fokus perbincangan ayat itu adalah fungsi dan manfaat kerasulan Nabi
Muhammad SAW bagi orang yahudi dan nashrani, diantara fungsi dan manfaat itu
adalah menyuruh mereka berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan,
menghalalkan hal-hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik dan
meringankan beban yang pernah dipikulkan atas mereka berdasarkan perintah yang
terdapat dalam taurat dan injil.
Selain dari kegunaan dan faidah diatas,
terdapat pula manfaat atau faidah ilmu munasabah lainnya bagi mufassir,
yaitu dapat memperluas pemhaman terhadap ayat yang sedang ditafsirkan.
Adapun kegunaan utama dari ilmu munasabah
diantaranya adalah :
1.
Untuk menemukan arti yang tersirat dalam
susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat dalam al-Quran.
2.
Untuk menjadikan bagian-bagian dalam al-Quran saling
berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh.
3.
Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat
ayat berikutnya.
4.
Untuk menjawab kritikan orang luar terhadap
sistematika al-Quran.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa munasabah ialah
segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat,
antara satu ayat dengan ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang
lain. Adapun macam-macam munasabah yaitu ada dua yang pertama,
munasabah antar surat ( al-munasabah baina al-suwar) dan yang kedua,
munasabah antar ayat ( al-munsabah baina al-ayat), kedua bagian ini
dibagi lagi menjadi dua yaitu ada yang bersift dzahir dan ada yang bersifat
mudhmar.
Daftar Pustaka
Nor
Ichhwan, Muhammad, Studi ilmu-ilmu al-Quran,
Semarang: Rasail Media Graup,2008
al-Qathan, Manna’, Mabahits
fi UlumIl Qur’an, Riyadh : Muassasah ar-Risalah,1981
M. Yusuf ,
Kadar, Studi Al-quran, Jakarta: Amzah,2009
Syafi’i
,Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir,
bandung: pustaka setia 2006
Anwar ,Abu , Ulumul Quran sebagai pengantar,
(ttp: Amzah), 2002
[1]
. Muhammad Nor Ichhwan, Studi ilmu-ilmu al-Quran,
(Semarang: Rasail Media Graup,2008), h. 139
[2]
. ibid.
[3]. Ibid, h. 140
[4]
. Manna’ al-Qathan, Mabahits fi UlumIl Qur’an,
(Riyadh : Muassasah ar-Risalah,1981), h. 97
[5]
. Kadar M. Yusuf, Studi Al-quran,( Jakarta: Amzah,2009), h. 101
[6]
. Rachmat Syafi’i, Pengantar Ilmu Tafsir, ( bandung: pustaka setia) 2006, h. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar